Senin, 13 Agustus 2018

PERUBAHAN IKLIM ANTROPOGENIK DAN KE-TIDAK-SETIMBANGAN ENERGI BUMI


PERUBAHAN IKLIM ANTROPOGENIK DAN KE-TIDAK-SETIMBANGAN ENERGI BUMI

Pembebanan ke-tidak-setimbangan energi pada sistem iklim terdiri dari komponen daya radiatif (DR) alami dan antropogenik; yang mengintervensi secara langsung dan/atau tidak langsung – pertukaran energi bumi-atmosfer. Intervensi langsung adalah dengan merubah laju  pengemisian/pemencaran dan penyerapan radiasi; dan tidak langsung adalah dengan merubah albedo dan panas laten komponen-komponen, menjadi prekursor pembentukan komponen DR langsung, dan menjadi nukleus pembentukan awan – di Bumi dan atmosfer. Status pengetahuan saintifik paling baik adalah untuk DR gas rumah kaca (GRK); pengetahuan kebanyakan komponen lain berada pada tingkat rendah, sebagian sedang dan sangat rendah. DR antropogenik emisi dari GRK, terutama CO2, sejak era industrial (1750) telah mempengaruhi iklim secara signifikan. DR antopogenik gabungan (DR positif dan negatif) pertama kalinya dihasilkan (1,6 [-1,0, +0,8] watt per meter persegi (W/m2), > 500% DR alami – indikasi sangat kuat pengaruh antropogenik. Ke-tidak-setimbangan energi bumi (EB) mengalami peningkatan ajeg sejak 1960, mencapai +0,85 W/m2 saat ini – yang sangat besar, dibandingkan dengan sejarah panjang Bumi yang mengelola kesetimbangan sebesar sepersekian (fraksi kecil) dari 1 W//m2 – dan menjadi penegasan pengaruh  antropogenik yang signifikan.



1. PENDAHULUAN

Sistem iklim Bumi (SIB) merupakan proses interaktif diantara atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer, yang mengatur iklim dan perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini merupakan pengaruh eksternal pada SIB – yang disebut sebagai climate forcings – yang bersumber baik dari alam maupun kegiatan manusia (antropogenik). Evolusi sains iklim dan perubahan iklim dalam beberapa dekade belakangan, dan yang terus berlanjut, memberikan semakin banyak bukti tentang pengaruh antropogenik pada perubahan iklim (Forster et al., 2007; Hansen et al., 2011).

Forcing antropogenik utama adalah emisi gas rumah kaca (GRK) – karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan halokarbon (berbagai spesies CFC, HFC, PFC dan seyawa SF6). Forcing antropogenik lainnya adalah emisi partikel aerosol dan perubahan tata guna lahan.   Forcings alami termasuk letusan gunung berapi dan perubahan radiasi matahari. Forcings antropogenik menyebabkan perubahan komposisi atmosfer dan perubahan pada berbagai aspek biosfer – yang mempengaruhi pertukaran energi diantara Bumi dan atmosfer.

SIB berevolusi dengan waktu dipengaruhi oleh dinamika internal dan forcings. Climate forcings antropogenik pada SIB telah terjadi selama lebih dari dua abad menyebakan perubahan bujet energi bumi (EB) selama abad ke-20 (Myhre et al., 2001). Bujet EB yang merupakan kesetimbangan relatif pertukaran energi antara bumi dan atmosfer mengalami ke-tidak-setimbangan akibat forcings yang sebagian besar adalah antropogenik (NRC, 2001). Ke-tidak-setimbangan ini merupakan penyebab utama perubahan iklim yang sedang terjadi yang termasuk, kenaikan suhu bumi dan fluktuasi pada variabel iklim. Perubahan iklim juga erat dikaitkan dengan perubahan-perubahan lainnya – frekuensi hujan, berkurangnya lapisan salju dan es laut, peningkatan frekuensi siang dan malam yang panas, kenaikan permukaan laut, pengasaman laut yang luas (AAC, 2010), dan kejadian iklim ekstrem (IPCC, 2012).


2. SISTEM IKLIM BUMI (SIB)

Radiasi matahari merupakan sumber utama energi SIB. Kesetimbangan radiasi Bumi secara fundamental bergantung pada: 1) radiasi matahari (orbit Bumi dan matahari); 2) proporsi radiasi matahari yang dipantulkan (yang disebut albedo), dan; 3) pantulan radiasi gelombang panjang dari permukaan Bumi (Forster et al., 2007).  

Jumlah energi yang sampai pada bagian paling atas atmosfer (PAA) pada permukaan yang berhadapan dengan matahari pada siang hari adalah sebesar 1.370 Watt per detik per meter persegi (W/dtk.m2), dan jumlah energi (W/dtk.m2) yang sampai pada seluruh bumi adalah seperempatnya. Kira-kira 30% matahari yang sampai di PAA dipantulkan ke angkasa. Kira-kira dua per tiga dari pemantulan tersebut adalah oleh awan dan partikel kecil (aerosol). Permukaan cerah di Bumi – terutama salju, es dan gurun – memantulkan satu per tiga dari sisa cahaya matahari tersebut. Perubahan paling dramatis pada pemantulan aerosol terjadi ketika gunung berapi meletus dan melontarkan material ke atmosfer (Forster et al., 2007). Hujan dapat menguras aerosol dari atmosfer dalam beberapa minggu. Namun, aerosol letusan gunung berapi yang mencapai awan yang paling tinggi mempunyai waktu tinggal yang lebih lama di atmosfer dan akan mempengaruhi iklim selama satu-dua tahun (Forster et al., 2007). Beberapa jenis aerosol buatan manusia juga mempunyai daya pantul yang signifikan (Forster et al., 2007).

Energi yang tidak dipantulkan diserap oleh permukaan Bumi dan atmosfer. Jumlah ini kira-kira adalah 240 W/ m2. Untuk mensetimbangkan energi yang masuk, Bumi harus meradiasikan sejumlah energi yang sama ke angkasa – dengan emisi radiasi gelombang panjang. Segala sesuatu di Bumi mengemisikan radiasi gelombang panjang terus-menerus (IPCC, 2007). Pada ketinggian 5 km di atas permukaan, pada temperatur -19oC, 240 W/ m2 energi dilepaskan ke angkasa.

Gas rumah kaca (GRK) yang menyerap sebagian radiasi gelombang panjang dari permukaan dan memantulkannya kembali – yang menyebabkan efek menghangatkan – merupakan faktor utama yang mengelola rata-rata suhu Bumi pada 14 oC. Fenomena tersebut disebut sebagai efek GRK alami (Forster et al., 2007). GRK penting adalah, uap air dan karbon dioksida. Awan juga berperan dalam penghentian gelombang panjang meskipun efek tersebut diimbangi oleh pemantulannya, dengan demikian awan mempunyai efek keseleruhan mendinginkan (Forster et al., 2007). Kegiatan manusia meningkatkan intensitas penghangatan tersebut melalui emisi GRK – dimana kenaikan jumlah GRK, CO2 sebesar hampir 40% pada era industrial telah diketahui disebabkan kegiatan manusia (Forster et al., 2007; World Bank, 2010; NRC, 2001).        

Dengan bentuk bumi yang lonjong, lebih banyak energi matahari yang mencapai permukaan di tropik dibandingkan di permukaan dengan luas yang sama pada lintang yang lebih tinggi, dimana sinar matahari dipancarkan ke atmosfer dengan sudut yang lebih rendah. Energi ditransportasikan dari wilayah khatulistiwa ke lintang yang lebih tinggi melalui sirkulasi atmosferik dan lautan, termasuk sistem badai (Forster et al., 2007). Energi juga dibutuhkan untuk menguapkan air dari laut dan permukaan daratan, dan energi yang disebut ini panas laten, dilepaskan ketika uap air mengalami kondensasi di awan. Sirkulasi atmosferik kebanyakannya didorong oleh pelepasan panas laten. Sirkulasi atmosferik kemudian mendorong sebagian besar sirkulasi laut melalui angin pada permukaan laut dan melalui perubahan pada suhu laut dan salinitas melalui presipitasi dan penguapan.

Bagan 1. Ranah-ranah SIB – atmosfer, cirosfer, daratan, lautan dan gunung berapi. Variabel-variabel penting untuk tiap-tiap ranah ditunjukkan di dalam kotak – suhu, kelembaban, awan dan lain-lainya. Garis putus-putus pada matahari dan gunung berapi menunjukkan bahwa energi matahari dan material gunung berapi merupakan faktor eksternal SIB –  Bumi dan iklim Bumi tidak  mempengaruhi matahari dan aktivitas gunung berapi (hubungan satu arah, bukan timbal balik); Bumi mempengaruhi aktifitas gunung berapi hanya dalam jangka waktu yang sangat panjang (NRC, 2005).
Perputaran bumi mempengaruhi kecenderungan pola sirkulasi atmosferik yang dominan timur-barat dibandingkan utara-selatan. Angin barat di lintang-tengah adalah faktor dominan dalam sistem cuaca skala-besar yang membawa panas ke kutub-kutub. Sistem iklim ini adalah sistem-sistem migrasi tekanan tinggi dan rendah yang familiar dan front dingin dan panas yang terkait dengannya. Suhu yang kontras di daratan dan lautan dan halangan seperti pegunungan dan lapisan es menyebabkan kecenderungan sistem sirkulasi atmosferik skala-planet untuk bertumpu pada daratan kontinen dan gunung meskipun amplitudonya dapat berubah seiring waktu (Forster et al., 2007). Perubahan-perubahan pada berbagai aspek SIB seperti, luas tutupan lapisan es, distribusi dan jenis vegetasi serta suhu atmosfer dan lautan, akan mempengaruhi fitur-fitur sirkulasi atmosfer dan laut skala-besar (IPCC,2007). 

Mekanisme umpan balik dalam SIB dapat memperbesar (umpan balik positif) atau memperkecil (umpan balik negatif) efek-efek perubahan yang disebabkan oleh forcing. Kontribusi umpan balik terhadap perubahan iklim tergantung pada “sensitifitas iklim”[1] (NRC, 2001). Umpan balik akan berkontribusi sebesar 60% pada penghangatan iklim yang diprediksi (NRC, 2001). Misalnya, peningkatan konsentrasi GRK yang memanaskan iklim dan mencairkan es dan salju. Pencairan ini mengakibatkan terjadinya permukaan yang lebih gelap dan permukaan air di bawah salju dan es yang menyerap lebih banyak panas matahari, yang meningkatkan penghangatan, yang menyebabkan lebih banyak salju dan es mencair, dan seterusnya, dalam siklus swa-penegasan (self-reinforcing) (Forster et al., 2007). Putaran (loop) umpan balik tersebut semakin meningkatkan penghangatan yang diawali oleh peningkatan konsentrasi GRK. Mekanisme umpan balik positif lainnya diantaranya adalah, efek penghangatan pada uap air stratosfer, awan, karbon dioksida di laut, penurunan frekuensi hujan, dan desertifikasi. Sedangkan umpan balik negatif – dimana penghangatan iklim direspon oleh komponen-komponen biosfer dan atmosfer dengan proses-proses yang kemudian menyebabkan pendinginan iklim; diantaranya adalah, peningkatan produktifitas primer, radiasi black body, peluruhan kimiawi akibat cuaca (chemical weathering), dan pompa solubilitas laut.

3. CLIMATE FORCING


Bagan 2.  Rangkuman daya radiative komponen-komponen utama, pada 2005 relatif terhadap 1795. Daya radiatif termasuk dari kegiatan manusia dan alam (IPCC, 2007b)
Climate forcing adalah ke-tidak-setimbangan energi yang dibebankan pada SIB oleh pengaruh eksternal alami maupun antropogenik (NRC, 2005; Forster et al., 2007). Forcing (daya) ini dapat diklasifikan sebagai radiatif (langsung dan tidak langsung) atau nonradiatif (NRC, 2005). Daya radiatif  langsung mempengaruhi bujet radiatif bumi secara langsung misalnya, penambahan karbon dioksida yang akan langsung berpengaruh pada penyerapan dan pengemisian radiasi gelombang panjang (NRC, 2005). Daya radiatif tidak langsung menyebabkan ke-tidak-setimbangan radiatif dengan merubah komponen-komponen SIB yang kemudian (hampir langsung) menyebabkan perubahan pada fluks radiatif misalnya, pengaruh aerosol pada efisiensi presipitasi awan (NRC, 2005). Daya nonradiatif menyebabkan ke-tidak-setimbangan energi yang tidak secara langsung melibatkan radiasi misalnya, peningkatan fluks evapotranspirasi irigasi pertanian (NRC, 2005).   




3.1. DAYA RADIATIF (DR) LANGSUNG

Studi perubahan iklim jangka panjang  telah menekankan suhu sebagai indeks utama perubahan iklim. Konsep DR merupakan cara mengkuantifikasi dan membandingkan kontribusi agen-agen yang berbeda – alami dan antropogenik – yang mempengaruhi suhu permukaan dengan merubah kesetimbangan antara – fluks radiasi matahari yang masuk ke dan radiasi gelombang panjang infra merah yang keluar – dari SIB (NRC, 2005; Le Treut et al., 2007). Definisi DR yang digunakan saat ini oleh IPCC berdasarkan Ramaswamy et al. (2001) adalah ‘perubahan netto iradiasi (matahari plus gelombang panjang; dalam W/m2) (ke bawah minus ke ke atas) di troposfer setelah temperatur stratosfer menyesuaikan dengan kesetimbangan dengan temperatur permukaan dan troposfer dan pada keadaan tetap dengan harga tetap’. 

Tabel 1. Agen DR, mekanisme forcing, efek forcing dan status pengetahuan
Agen DR-langsung
Mekanime forcing
Efek forcing netto
Status pemahaman saintifik
Gas rumah kaca dengan waktu tinggal panjang di atmosfer (long lived greenhouse gases-LLGHGs): CO2, CH4, N2O, dan senyawa-senyawa halokarbon
Penyerapan radiasi gelombang panjang infra merah
+
Terkarakterisasi dan dipahami dengan baik
Ozon troposfer
Penyerapan radiasi inframerah dan ultra violet
-
Sedang
Ozone stratosfer
Partikel aerosol (termasuk material gunung berapi)
Pemencaran (dominan) dan penyerapan radiasi
-
Sedang-rendah
Perubahan tata guna lahan
Perubahan albedo-emissivitas
-
Sedang-rendah
Matahari
Irradiasi
+
Rendah
Liquid water cloud
Perubahan albedo-emissivitas
-
Uap air stratosfer

DR merupakan parameter sederhana untuk mengkuantifikasi dan meranking pengaruh-pengaruh yang berbeda terhadap perubahan iklim; ukuran ini memberikan pengukuran yang terbatas dan tidak mencoba untuk mewakili respon iklim keseluruhan (Le Treut et al., 2007). Namun demikian, karena sensitifitas iklim dan aspek-aspek respon iklim lainnya terhadap forcing eksternal masih belum adekuat, DR mempunyai kelebihan – dapat dihitung dengan lebih mudah dan bisa dikomparasikan, dibandingkan dengan estimasi respon iklim (Le Treut et al., 2007).     

Studi-studi sejak Working Group I Third Assessment Report (TAR; Ramaswamy et al., 2001) memberikan tingkat kepercayaan sedang bahwa kesetimbangan respon temperatur rata-rata global untuk suatu DR adalah kira-kira sama (dengan perbedaan dalam batas 25%)  (Le Treut et al., 2007). 

Daya radiatif dihitung berdasarkan konsentrasi suatu gas relatif terhadap konsentrasi awal (IPCC menggunakan konsentrasi awal tahun 1750)  dan konstanta transfer radiatif (Tabel 2).

Daya radiatif dapat dihubungkan dengan relasi linear pada perubahan temperatur permukaan global rata-rata ( : , dimana  adalah parameter sensitifitas iklim dan RF adalah nilai DR. Nilai tipikal  Î» adalah 0.8 K/(W/m2) yang akan menghasilkan 3K untuk penggandaan CO2 (Ramaswamy et al., 2001; Le Treut et al., 2007).

Estimasi DR antropogenik gabungan adalah 1,6 [-1,0, +0,8]2 W/m2 mengindikasikan bahwa kegiatan manusia sejak 1750 sangat mungkin telah menyebabkan perubahan temperatur substansial pada iklim (Le Treut et al., 2007). Kesimpulan tersebut dibuat dengan membandingkannya dengan DR gabungan alami (iradiasi matahari dan aerosol gunung berapi) untuk periode 1950-2005, yang hanya seperlima dari DR yang diestimasi tersebut (Le Treut et al., 2007).

Peningkatan konsentrasi GRK degan waktu tinggal panjang di atmosfer (long lived greenhouse gases-LLGHGs) (CO2, CH4, N2O, CFC, HFC, PFC dan SF6) mempunyai DR gabungan sebesar +2,63 [ +0,26] W/m2. Peningkatan sebesar 9% pada merupakan akumulasi konsentrasi sejak 1998 (Le Treut et al., 2007).


Tabel 2. Persamaan perhitungan daya radiatif yang disederhanakan (Ramaswamy et al., 2001 dalam IPCC, 2007b)
Konsentrasi CO2 global rata-rata pada tahun 2005 adalah sebesar 379 ppm, dengan DR +1,66 [+ 0,17] W/m2. Emisi pembakaran bahan bakar fosil dan manfuaktur semen dari periode terdahulu kemungkinan berkontribusi kira-kira tiga per empat dari DR saat ini, dengan sisanya dikontribusikan oleh perubahan tata guna lahan(Le Treut et al., 2007). Untuk dekade 1995 sampai 2005, laju peningkatan konsentrasi atmosfer dan DR CO2 adalah sebesar 1,9 ppm/thn dan 20% berturut-turut (Le Treut et al., 2007): laju tersebut merupakan yang yang terbesar dalam 200 tahun terakhir. Dari 1999 sampai 2005, emisi dari bahan bakar fosil dan produksi semen meningkat dengan laju kira-kira 3%/thn (Le Treut et al., 2007).

Konsentrasi global rata-rata CH4 pada tahun 2005 adalah sebesar 1.774 ppb, mengkontribusikan DR sebesar +0,48 [+ 0,05] W/m2. Dalam dua dekade belakangan, laju peningkatan CH4 di atmosfer secara umum telah menurun. Penyebab penurunan tersebut belum dipahami dengan baik. Selain itu konsentrasi radikal hidroksil (OH) yang merupakan prekursor penambatan CH4 yang utama juga tidak akan berubah untuk jangka waktu yang panjang yang berarti bahwa emisi total CH4 tidak akan bertambah.


Grafik 1. Konsentrasi atmosferik LLGHGs non halokarbon dalam 2.000 tahun terakhir (IPCC, 2007)
Nitrous oksida meningkat secara linear dan terus menerus (0,26%/thn) dan sampai pada konsentrasi sebesar 319 ppb pada tahun 2005, dan mengkontribusikan DR sebesar +0,16 [+ 0,02] W/m2. Studi-studi baru-baru ini menegaskan peran signifikan wilayah tropikal dalam emisi yang mempengaruhi gradien konsentrasi spasial (Le Treut et al., 2007).

Tabel 1. Konsentrasi dan DR LLGHGs saat. Perubahan sejak 1998 juga ditunjukkan (IPCC, 2007b)
Spesies
Konsentrasi
Daya radiatif
2005
Perubahan sejak 1998
2005 (W/m2)
Perubahan sejak 1998 (%)
CO2
379 + 0,65 ppm
+13 ppm
1,66
+13
CH4
1.774 +1,8 ppb
+11 ppb
0,48
-
N2O
319 +1,12 ppb
+5 ppb
0,16
+11
CFC-Total

0,268
-1
HCFC-Total
0,039
+33
Gas-gas Montreal
0,320
-1
Gas-gas Kyoto lainnya
0,017
+69
Halokarbon
0,337
+1
LLGHGs-Total
2,63
+9

Gabungan gas-gas Protokol Montreal (khlorofluorokarbon (CFC), hidrokhlorofluorokarbon (HCF)), dan khlorokarbon) mengkontribusikan DR sebesar +0,32 [+ 0,03] W/m2 pada tahun 2005. DR-nya mencapai puncak pada tahun 2003 dan saat ini mulai menurun.

Konsentrasi kebanyakan gas-gas Protokol Kyoto (hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (SF6) telah meningkat secara signifikan, dengan faktor antara 4,3 dan 1,3 berturut-turut diantara tahun 1998 dan 2005. Total DR pada tahun 2005 adalah +0,07 [+ 0,002] W/m2, dengan laju peningkatan yang besar, kira-kira 10%/thn.

Gas reaktif, OH, merupakan spesies kimia kunci yang mempengaruhi waktu tinggal dan nilai DR CH4, HFC, HCFC dan ozon; juga berperan dalam pembentukan sulfat, nitrat dan beberapa spesies aerosol organik. Estomasi konsentrasi global rata-rata OH tidak menunjukkan perubahan netto yang terdeteksi diantara tahun 1979 dan 2004.

Berdasarkan studi chemical transport model (CTM) yang lebih baik daripada yang dihasilkan pada Third Assessment Report (2001), peningkatan DR ozon troposfir diestimasi sebesar +0,35 [ - 0,1, +0,3] W/m2. Indikasi peningkatan ozon ditemukan pada lintang rendah.

Tren semakin berkurangnya ozon stratosfer yang diamati selama periode 1980 dan 1990 sudah tidak terjadi lagi. Namun demikian, hal ini tidak sepenuhnya menjelaskan indikasi pemulihan ozon. DR untuk gas ini adalah -0,05 [ + 0,10] W/m2.

Perubahan (dalam rentang beberapa persen) kolom global rata-rata ozon oleh siklus 11-tahun iradiasi ultraviolet matahari saat ini dapat dipahami dengan lebih baik. Namun, masih ada ketidakpastian terkait perubahan profil ozon. Hubungan empiris antara ionisasi sinar kosmik yang dimodulasi matahari di atmosfer dan tutupan awan rendah global rata-rata masih ambigu.      

Berdasarkan studi CTM, DR uap air stratosferik yang meningkat akibat oksidasi CH4 diestimasi sebesar +0,07 [ + 0,05] W/m2. Pemahaman penyebab antropogenik peningkatan uap air yang dapat berkontribusi pada DR masih sangat terbatas. 

Dengan perkiraan model dan observasi, total DR aerosol direct diestimasi sebesar -0,5 [ + 0,4] W/m2.
Model-model atmosferik telah mengalami perkembangan dan banyak yang sekarang mampu mengakomodir komponen-komponen aserosol yang penting. Peningkatan dalam pengukuran in situ, yang berbasis satelit dan permukaan telah memungkinkan verifikasi model-model aerosol global. Estimasis terbaik dan rentang ketidak-pastian DR aerosol direct didapatkan dari studi pemodelan dan pengamatan, (Le Treut et al., 2007).
Nilai DR untuk spesies individual aerosol direct mempunyai ke-tidak-pasti-an yang lebih besar.Estimasinya adalah: sulfat -0,4 [ +0,2] W/m2; organik karbon dari bahan bakar fosil -0,05 [ +0,05] W/m2; karbon hitam dari bahan bakar fosil +0,2 [+0,15] W/m2; pembakaran biomasa +0,03 [+0,12] W/m2; nitrat -0,1 [+0,1] W/m2; dan debu mineral -0,1 [+0,2] W/m2. Untuk pembakaran biomasa, estimasinya sangat terpengaruh oleh awan di atasnya. Untuk pertama kalinya estimasi dihasilkan untuk nitrat dan aerosol debu mineral. Studi-sudi pemodelan yang mengikutkan lebih banyak spesies aerosol atau dihalangi pada pengamatan satelit cenderung memberikan hasil DR yang lebih rendah. Aspek-aspek lain dari interaksi aerosol-awan (mis. waktu tinggal awan efek semi-langsung) tidak dianggap sebagai DR.

Konsentrasi global rata-rata aerosol stratosfer berada pada tingkat yang paling rendah di tahun 2005, sejak pengukuran satelit dimulai pada 1980an. Hal ini dapat dikaitkan dengan tidak adanya letusan gunung berapi yang signifikan sejak Gunung Pinatubo pada tahun 1991. Aerosol dari kejadian gunung berapi menyebabkan DR negatif sementara; namun demikian, pengetahuan tentang DR terkait dengan letusan sebelum Gunung Pinatubo masih terbatas. 

 Sinar matahari mengalami peningkatan pada era industrial, dan menyebabakan DR positif kecil +0,12 [-0,06, +0,18] W/m2. Iradiasi matahari yang dimonitor dari angkasa dalam tiga dekade terakhir mengungkapkan siklus mapan sebesar 0,08 % (siklus minimum sampai maksimum) tanpa tren signifikan pada siklus minimum.

3.2. DAYA RADIATIF TIDAK LANGSUNG

Aerosol non-direct berinteraksi dengan awan dengan beberap cara, khususnya sebagai nukleus kondensasi awan dan nukleus es. Interaksi-interaksi tersebut biasanya disebut sebagai efek tidak langsung aerosol (NRC, 2005). DR dari efek albedo awan (Twomey effect), dalam konteks liquid water clouds diestimasi sebesar -0,7 [ – 1,1, +0,4] W/m2.

Hansen et al. (2011) menyatakan bahwa sebagian besar pemodelan iklim mengasumsikan pencampuran panas ke laut yang dalam yang terlalu efisien, sehingga estimasi forcing negatif menjadi terlalu rendah untuk agen aerosol non-direct (melalui perubahan awan).

Perubahan tutupan/tata guna lahan termasuk deforestasi, urbanisasi, irigasi dan desertifikasi, dan pertanian – dapat menyebabkan perubahan signifikan pada DR (NRC, 2005). Perubahan tutupan dan tata guna lahan merupakan faktor penting pada skala regional, meskipun merupakan faktor yang tidak signifikan dibandingkan komposisi atmosfir dalam seratur tahun terakhir (Hansen et al., 2011).

Perubahan pada kelembaban tanah juga dapat merubah kesetimbangan energi permukaan kontinental (NRC, 2005). Ketika kandungan air di tanah tinggi, sebagian besar energi radiatif diserap permukaan tanah untuk evaporasi dan transpirasi air. Fluks panas latennya besar, fluks panas sensibel-nya kecil (dapat mencapai negatif di wilayah kering), temperatur tanah-permukaan relatif rendah, dan oleh sebab itu, radiasi gelombang panjang yang diemisikan permukaan tanah relatif rendah. Hal ini dapat dikontraskan dengan kondisi dimana tanah kering dimana tidak ada fluks panas laten, dan fluks panas sensibel-nya kecil – radiasi gelombang panjang yag diemisikan relatif tinggi.    

Perubahan pada tutupan lahan, sebagian besar karena deforestasi, telah meningkatkan albedo permukaan dengan DR -0,2 [+0,2] W/m2. Aerosol karbon hitam yang terdeposisi pada salju telah mengurangi albedo permukaan dengan DR +0,1 [+0,1] W/m2. Karakteristik perubahan permukaan lainnya yang dapat mempengaruhi iklim dengan proses-proses yang tidak dapat dikuantifikasi masih dalam tahap pemahaman yang sangat rendah.

Jejask kondensasi (condensation trail) penerbangan persisten mengkontribusikan DR sebesar +0,01 [-0,007, +0,02] W/m2.  

Tabel 3. Agen DR-tidak langsung: mekanisme forcing, efek forcing neto dan status pemahaman saintifik
Agen DR-tidak langsung
Mekanime forcing
Efek forcing netto
Status pemahaman saintifik
Aerosol non-direct
Interaksi dengan awan, menjadi nukleus kondensasi awan, memperpanjang waktu tinggal awan, menyerap radiasi matahari, menambah ketebalan optik awan
-
Rendah
Jejak kondensasi penerbangan
Efek pada awan cirrus
Perubahan tutupan dan tata guna lahan
Perubahan albedo dan emisifitas, perubahan panas laten yang dipengaruhi oleh kandungan air tanah.
+
Sangat rendah
Ozon troposfer dan stratosfer
Meningkatkan OH di troposfer, dan mengurangi waktu tinggal metana dan memfasilitasi  aerosol sebagai nukleus
-

3.3. DAYA RADIATIF TOTAL

Grafik 2. DR global berdasarkan kelompok agen DR, 1880-2005 (Hansen et al., 2011)
GRK merupakan kontributor terbesar pada DR keseluruhan, berada jauh di atas kelompok agen DR lainnya. Iradiasi matahari mengkontribusikan porsi sangat kecil relatif terhadap GRK. Peningkatan aerosol antropogenik menyebabkan penurunan daya radiatifnya dari tahun ke tahun, terutama sejak 1950an. Penurunan ini juga termasuk efek tidak langsung aerosol antropogenik awan  pada awan, yang tidak disertakan dalam perhitungan IPCC Assessment Report 4 (Le Treut et al., 2007; Hansen et al., 2011). Pemodelan yang diilustrasikan pada Grafik 3 menunjukkan climate forcing antropogenik, dimana forcing GRK  diimbangi dengan forcing negatif aerosol.

4. KE-TIDAK-SETIMBANGAN ENERGI BUMI


Grafik 3. Climate forcing antropogenik tahun 2005 (Hansen et al., 2011)
Ke-tidak-setimbgangan energi Bumi merupakan konsekuensi langsung climate forcing neto – fraksinya yang belum direspon temperatur permukaan. Ke-tidak-setimbangan ini merupakan ukuran yang penting untuk mengukur climate forcing neto yang sedang terjadi di Bumi (Hansen et al., 2005). Sebagian besar ke(tidak)setimbangan energi merupakan respon forcing di permukaan dan laut; atmosfer merupakan variabel kecil karena kapasitas penyimpanan energinya yang kecil, dan dianggap sebagai produk dari perubahan temperatur permukaan (Hansen et al., 2011).

Umpan balik positif  meningkatkan respon iklim dan umpan balik negatif mengurangi respon (Hansen et al., 2011). Umpan balik merubah jumlah energi matahari yang diserap Bumi atau panas yang diradiasikan ke angkasa (Hansen et al., 2011). Asumsi bahwa pengaruh umpan balik pada respon global rata-rata adalah fungsi dari perubahan temperatur adalah aproksimasi yang berguna untuk kuantifikasi ke(tidak)setimbangan. Kebanyakan umpan balik mengakibatkan respon yang terjadi hampir langung, mis., perubahan konsentrasi uap air atmosfer dan CO2, transpirasi dan pertumbuhan tumbuhan; umpan balik dengan respon lambat menghasilkan respon yang terjadi dalam skala waktu dekade, milenia, hingga lebih lama lagi, mis., perubahan lapisan es dan GRK dengan waktu tinggal panjang (Hansen et al, 2011). Sekitar 40% respon kesetimbangan dicapai dalam lima tahun, karena inertia efektif yang kecil. Hanya 60% yang dicapai dalam seratus tahun. Respon menyeluruh hanya dicapai dalam seribu tahun (Hansen et al., 2011).   

Variabel perhitungan ke-tidak-setimbangan energi Bumi termasuk, perolehan energi dari – laut, gabungan non-laut, di laut di kedalaman > 4000m, dan di laut pada kedalaman diantara 2000 dan 4000 m. Laut mempunyai kapasitas penyimpanan energi yang besar di kedalaman sampai 700 m. Estimasi perolehan energi pada kedalaman 700 m pertama adalah 0,64 + 0,11 W/m2 (tingkat kepercayaan 90%) untuk periode 1993-2008. Perolehan energi atmosfer adalah 5 X 1021 J (periode 1961-1993) (Le Treut et al., 2007); 2,5 X 1021 J (1961-2003) (Hansen et al., 2011). Perolehan energi di daratan sampai kedalaman 200 m untuk periode 1901-2000 bervariasi: 15,9 X 1021 J (Beltrami et al., 2001); 13 X 1021 (Beltrami et al., 2001); 10,3 X 1021 (Huang, 2006); 12,6 X 1021 J (Hansen et al., 2011). Estimasi perolehan energi di kedalaman di bawah 4000 m adalah 0,027 + 0,009 W/m2; di antara 2000 – 4000 m, 0,068 + 0,0061 W/m2 (Purkey dan Johnson, 2010). (Referensi-referensi dikutip dalam Hansen et al., 2011).

Penyimpanan energi di laut mendominasi ke-tidak-setimbangan energi selama 1993 – 2008 (Hansen et al., 2011). Perubahan energi di bawah 700 m dan 4000 m merupakan suplemen terbesar penyimpanan energi di permukaan (s/d kedalaman 700 m) (Hansen et al., 2011). Menurut Levitus et al. (2009) 15-20 persen perolehan energi laut diperoleh di kedalaman lebih dari 700 m.  

Ke-tidak-setimbangan untuk suatu skenario forcing dan pencampuran di laut (fungsi respon iklim), dihitung berdasarkan persamaan Green:


Persamaan ini menyatakan bahwa ke-tidak-setimbangan merupkan bagian dari climate forcing yang belum direspon oleh temperatur permukaan. ,    dan F pada persamaan ini adalah fungsi waktu. Perubahan temperatur kesetimbangan (  merespon climate forcing pada waktu t – untuk umpan balik dengan respon cepat – merupakan hasil dari climate forcing pada waktu t dan umpan balik cepat sensitifitas iklim, S X F, dengan S ~ ¾ oC per W/m2.  adalah temperatur permukaan global pada waktu t dihitung dengan persamaan Green. Ke-tidak-setimbangan energi yang dihitung dari persamaan di atas sesuai dengan simulasi model iklim global (Hansen et al., 2011). Namun persamaan tersebut hanya hanya dapat mengakomodir umpan balik dengan respon cepat dan valid hanya untuk skala waktu dekade sampai abad, periode yang cukup panjang tanpa perlu mempertimbangkan perubahan pada lapisan es (Hansen et al., 2011). Climate forcing, F, termasuk semua perubahan pada gas-gas dengan waktu tinggal panjang dan juga yang dihasilkan dari umpan balik siklus karbon yang lambat (terkait dengan perubahan temperatur laut dan pencairan permafrost)(Hansen et al., 2011).

Pemodelan Hansen et al. (2005) yang sebagian besar mengakomodir GRK dan aerosol antropogenik mengestimasi ke-tidak-setimbangan energi Bumi – penyerapan energi permukaan yang lebih besar dari yang dilepaskan ke angkasa – sebesar 0,85 + 0,15 W/m2 dalam sepuluh tahun terakhir (tanpa interupsi letusan gunung berapi besar). Dalam model tersebut ke-tidak-setimbangan sebelum 1960 tidak pernah melebihi satu per sepuluh W/m2 dan terus meningkat dengan ajeg, kecuali pada periode letusan gunung berapi yang besar. Ke-tidak-setimbangan energi Bumi saat ini adalah besar menurut standar sejarah Bumi. Misalnya, ke-tidak-setimbangan sebesar 1  W/m2 selama 10.000 tahun terakhir selama Holocene cukup untuk mencairkan es ekivalen dengan kenaikan permukaan laut setinggi 1 km atau meningkatkan temperatur laut di bagian di atas termoklin hingga mencapai lebih dari 100oC  (Hansen et al., 2005). Hal ini jelas menunjukkan bahwa dalam skala waktu panjang, planet ini berada pada kesetimbangan energi tidak lebih dari fraksi kecil dari 1 W/m2  (Hansen et al., 2005).

Interpretasi alternatif dari laju tinggi penyimpanan energi di laut adalah bahwa hal itu bukan disebabkan oleh forcing tapi dari fluktuasi atmosfer-laut. Namun, jika suatu fluktuasi menghantar air dingin ke permukaan laut untuk mengurangi fluks energi keluar, permukaan laut akan mendingin – di sisi lain pada faktanya penghangatan terjadi permukaan laut (Hansen et al., 2005).

Perubahan iklim yang sedang terjadi mungkin mempunyai efek-efek yang tidak diinginkan melalui umpan balik dengan respon lambat, mis., yang terkait dengan lapisan es dan ketinggian permukaan laut (Hansen et al, 2011). Isu-isu tersebut harus dievaluasi dengan pemantauan kontinyu kesetimbangan massa lapisan es. Stabilisasi permukaan laut mungkin membutuhkan ke-tidak-setimbangan energi negatif yang moderat. Hal-hal tersebut hanya akan menjadi isu praktikal setelah GRK telah dikurangi sampai (atau mendekati) kondisi kesetimbangan energi. (Hansen et al., 2011)

5. KESIMPULAN

5.1. CLIMATE FORCINGS

Perubahan iklim yang terjadi saat ini merupakan pengaruh eksternal pada sistem iklim Bumi – yang disebut sebagai climate forcings – yang bersumber baik dari alam maupun kegiatan manusia (antropogenik).

Climate forcing termasuk daya radiatif langsung dan tidak langung – mempengaruhi bujet radiatif bumi.

Total rerata forcings global  kemungkinan besar adalah negatif. Peningkatan aerosol stratosfer dan troposfer yang mengurangi fluks radiasi gelombang pendek merupakan penyebab utama forcing negatif permukaan.  Hal ini dikontraskan dengan peningkatan LLGHG yang merupakan kontributor utama total DR positif antropogenik.     

5.2. DAYA RADIATIF

Agen daya radiatif bersumber dari alam dan emisi antropogenik. Kompleksitas dan derajat ketidakpastian mekanisme forcing bervariasi secara substansial (Myhre et al., 2001).

Mekanisme forcing langsung adalah, iradiasi, penyerapan, pemencaran dan pengemisian radiasi infra merah dan ultravilolet. Iradiasi ke permukaan Bumi adalah melalui radiasi gelombang pendek dan dari Bumi ke angkasa melalui radiasi gelombang panjang.

Mekanisme forcing tidak langsung adalah melalui, perubahan albedo, perubahan panas laten tanah, reaksi kimia yang membentuk prekursor, dan pemfasilitasian kondensasi awan.

Studi-studi sejak Working Group I Third Assessment Report (TAR; Ramaswamy et al., 2001) memberikan tingkat kepercayaan sedang bahwa kesetimbangan respon temperatur rata-rata global untuk suatu DR adalah kira-kira sama (dengan perbedaan dalam batas 25%)  (Le Treut et al., 2007). 

Forcing antropogenik utama adalah emisi gas rumah kaca (GRK) – karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan halokarbon (berbagai spesies CFC, HFC, PFC dan seyawa SF6). DR antropogenik dimulai dari era industrial (1750) sangat mungkin telah menyebabkan perubahan temperatur substansial pada iklim (Le Treut et al., 2007).

GRK masih merupakan penyumpang radiasi positif terbesar. CO2 masih tetap merupakan kontributor terbesar pada daya radiatif, disusul CH4, N2O dan halokarbon.

Kompleksitas dan ketidakpastian mekanisme forcing sangat bervariasi. GRK dengan waktu tinggal panjang terkarakterisasi dan dipahami dengan baik; tingkat pemahaman untuk komponen lainnya adalah diantara sangat rendah sampai sedang.

Banyak aspek dalam perubahan iklim – termasuk hujan, keanekaragaman hayati dan permukaan laut – yang sekarang belum dikaitkan secara kuantitatif dengan daya radiatif. 

5.3. KE-TIDAK-SETIMBANGAN ENERGI BUMI

Ke-tidak-setimbangan menjadi ukuran yang penting untuk mengukur net forcing dan implikasinya. Ke-tidak-setimbangan saat ini sebesar 0,85 W/m2 adalah sangat besar menurut standar sejarah bumi yang dalam waktu panjang berada pada kesetimbangan energi sepersekian (fraksi kecil) dari 1 W//m2.

Faktor yang mempengaruhi ke-tidak-setimbangan adalah, climate forcing dan umpan baliknya. Umpan balik merubah jumlah energi matahari yang diserap Bumi atau panas yang diradiasikan ke angkasa (Hansen et al., 2011).  Umpan balik positif  meningkatkan respon iklim dan umpan balik negatif mengurangi respon (Hansen et al., 2011).

Variabel perhitungan ke-tidak-setimbangan energi Bumi termasuk, perolehan energi dari laut, jumlah gabungan non-laut, di laut di kedalaman > 4000m, dan di laut pada kedalaman diantara 2000 dan 4000 m. Penyimpanan energi di laut mendominasi ke-tidak-setimbangan energi selama 1993 – 2008. Atmosfer merupakan variabel kecil karena kapasitas penyimpanan energinya yang kecil.

Respon dari 60% umpan balik terjadi dalam skala dekade, sisanya sampai dengan skala milenia.

Perubahan iklim yang sedang terjadi mungkin mempunyai efek-efek yang tidak diinginkan melalui umpan balik dengan respon lambat. Dua variabel utama yang harus diperhatikan adalah, kesetimbangan massa lapisan es dan stabilisasi permukaan laut. Hal-hal tersebut hanya akan menjadi isu praktikal setelah GRK telah dikurangi sampai (atau mendekati) kondisi kesetimbangan  energi. (Hansen et al., 2011)

REFERENSI

Australian Academy of Science (AAC), 2010. The science of climate change: questions and answers. Australian Academy of Science, Canberra, Australia.

Forster, P., V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D.W. Fahey, J. Haywood, J. Lean, D.C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R. Prinn, G. Raga, M. Schulz and R. Van Dorland, 2007: Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

Hansen J., Sato M., Koch, D., Novakov T., Nazarenko L., Willis, L. A., Ruedy, R., Del Genio, L. A, Perlwitz, J., Schmidt, G. A., Lo, K., Menon, S., Russell, G. and Tausnev N., 2005. Earth’s energy imbalance: confirmation and implications. Science, June, 308 (3) pp. 1431-1435.

Hansen, J., Sato, M., von Schuckmann, K. and Kharecha, P., 2011. Earth’s energy imbalance and implications. Atmos. chem. phys., 11, 13421–13449.

IPCC, 2012. Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change Adaptation. A Special Report of Working Groups I and II of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Field, C.B., V. Barros, T.F. Stocker, D. Qin, D.J. Dokken, K.L. Ebi, M.D. Mastrandrea, K.J. Mach, G.-K. Plattner, S.K. Allen, M. Tignor, and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, UK, and New York, NY, USA.

Le Treut, H., R. Somerville, U. Cubasch, Y. Ding, C. Mauritzen, A. Mokssit, T. Peterson and M. Prather, 2007: Historical Overview of  Climate Change. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

Levitus, S., Antonov, J., Boyer, T., Locarnini, R. A., Garcia, H. E., and Mishonov, A. V., 2009. Global ocean heat content 1955–2008 in light of recently revealed instrumentation problems. Geophys. Res. Lett., 36, L07608, doi:10.1029/2008GL037155, http://www.nodc.noaa.gov/OC5/3M HEAT CONTENT/ basin data.html, 1955–2010, 2009.

Myhre, G., Myhre, A. and Frode, S., 2001. Historical evolution of radiative forcing of climate. Atmospheric environment, 35, pp. 2361-2373.

National Research Council (NRC), 2001, Climate change science:   an analysis of some key questions. National Academy Press, Washington, D.C. US.

National Research Council (NRC), 2005. Radiative forcing of climate change:  expanding the concept and addressing uncertainties. National Academy Press, Washington, D.C. US.

Ramaswamy V., Boucher, O., Haigh, J., Hauglustaine, D., Haywood J., Myhre, G., Nakajima, T., Shi, G.Y., Solomon, S., Betts, R., Charlson, R., Chuang, C., Daniel, J.S., Del Genio, A., van Dorland, R., Feichter, J., Fuglestvedt, J., 2001: Radiative forcing of climate change. In: Climate Change 2001 The physical science basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. [Joos, F. and  Srinivasan, J.(eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

World Bank, 2010. World development report 2010 : development and climate change. The World Bank, Washington, D.C. US. DOI :  10.1596/978-0-8213-7989-5.






[1] Perubahan temperatur yang akan terjadi setelah atmosfer dan laut berada pada kesetimbangan per satuan forcing (Hansen et al., 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar