Pembangunan wilayah urban mengakselerasi perubahan-perubahan drastis pada
lingkungan, pada tutupan lahan, badan dan jalur air, ketersediaan sumber daya
alam dan pelepasan emisi dan limbah yang berdampak pada siklus biogeokimia.
Beberapa perubahan terlihat jelas dan/atau dapat terdeteksi oleh indera manusia
secara langsung seperti pencemaran, terutama air, udara, dan tanah, penyusutan
daerah tangkapan air, dan sebagian lebih gradual, seperti perubahan iklim. Wilayah
urban memerlukan pasokan materi dan energi terus menerus untuk menjalankan
kegiatan dan menghidupi populasinya. Pasokan-pasokan tersebut banyak yang dijangkau
dari luar batas administratif suatu wilayah urba, mis. pasokan bahan pangan dan
energi. Metabolisme urban—pergerakkan materi dan energi dan transformasinya—menghasilkan
luaran berupa bangunan dan infrastruktur, energi listrik, energi panas, produk
manufaktur, produk jasa, limbah dan emisi. Jangkauan dampak lingkungan
metabolisme urban seperti kerusakan bentang lahan-air (landwaterscape), ekstraksi sumber daya, emisi, polusi, penipisan
sumberdaya, dll.— menyerupai jangkauan pasokannya—lokal, regional dan global.
Urbanisasi adalah proses sosio-metabolik dimana metabolisme materi dan
energi digerakkan oleh relasi-relasi sosial. Metabolisme kota— rantai
pergerakkan materi dan energi, dari produksi hingga konsumsi—ditentukan oleh relasi
sosial yang dalam urbanisasi kapitalis adalah relasi penguasaan/kepemilikan
sumber daya, teknologi dan sumber daya manusia.
Bahan pangan dan makanan merupakan salah
satu pasokan materi terpenting ke wilayah urban. Sosio-metabolisme bahan
pangan—rantai pasokan dari produksi hingga distribusi/akses—menentukan
kuantitas dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi penduduk dari berbagai
strata sosial. Peninjauan yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO), menyatakan kondisi buruk untuk ketahanan pangan dan nutrisi di
kota berukuran sedang dan megacity yang
sedang berkembang pesat. Komodifikasi
pangan dan ketimpangan ekonomi ekstrim bisa berarti bahwa banyak orang yang
semakin sulit mendapatkan akses langsung pada makanan. Wilayah urban dan
penyangganya juga dihadapkan pada masa depan pasokan pangan yang volatil meningkatnya
kerentanan produksi bahan pangan akibat perubahan iklim dan degradsi lingkungan
pendukung pertanian.
Produksi pangan lokal di wilayah urban memberi
beragam insentif sosial, ekonomi dan ekologis. Lahan pertanian di lingkungan
urban menciptakan iklim mikro sejuk yang menyebar ke hulu angin, mengurangi
emisi dan menambat gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida (CO2), dan
mengurangi konsentrasi partikel di udara. Studi-studi yang ditinjau FAO
menunjukkan bahwa produksi subsisten non-komersil skala rumah tangga dapat
menjadi sumber penting nutrisi. Di kota-kota di seluruh dunia masyarakat secara
otonom ataupun dengan kemitraan dengan pemerintah telah melakukan
kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan ketahanan pangan urban termasuk melalui
pertanian urban dan pendistribusian bahan pangan atau makanan.
Wilayah perkotaan membebankan ekosistem-ekosistem Bumi karena begitu
banyak sumberdaya yang harus dikonsentrasikan di wilayah urban. Tantangan dan
resiko lingkungan dan kehidupan yang dihadapi urban kontemporer menakutkan,
terutama di negara-negara berkembang di mana ditemui tingkat pencemaran yang
tinggi dan perubahan bentang lahan-air yang drastis. Penurunan kualitas
lingkungan dan fungsi ekosistem terjadi pada wilayah-wilayah dengan basis ekonomi
yang dominan industri manufaktur tersebut, diiringi perkembangan pesat infrastruktur
dan transportasi kendaraan bermotor.
Kesenjangan akses, yang paling mendasar,
pada bahan pangan dan lebih spesifik pada kesenjangan ekonomi yang ekstrim
terjadi di kota-kota. Etalase sosio-metabolisme urbanisasi kapitalis tercermin pada mosaik
ekologi urban: wilayah-wilayah kumuh tercemar dengan
kondisi sanitasi dan ekologis yang buruk; permukiman asri kelas atas; infrastruktur
yang megah dan terpuruk; wilayah-wilayah industri tercemar; wilayah perkantoran
elit; pusat-pusat belanja; jalan-jalan yang terpelihara dan terlantar; dan
ruang terbuka hijau (RTH) terawat dan terbengkalai.
Di sisi lain kita juga mempunyai peluang-peluang untuk melakukan transformasi
dramatis terutama untuk menghadapi tantangan kota-kota saat ini seperti, perubaan
iklim, kesenjangan kualitas lingkungan dan transformasi ke masa depan melampaui
bahan bakar fosil. Ilmu pengetahuan dan teknologi
menghadirkan peluang dan potensi terwujudnya tujuan-tujuan ekologis di wilayah
urban. Inspirasi dan tindakan otonom menghadirkan peluang artikulasi visi-visi
urbanisme ekologis— perjuangan-perjuangan untuk keadilan sosial dan lingkungan.
SOSIO-METABOLISME URBAN
Berbagai
transformasi dan metabolisme yang mendukung dan mempertahankan kehidupan urban
seperti misalnya, air, pangan, komputer dan hamburger selalu dikombinasikan
tanpa batas menghubungkan proses-proses fisikal dan sosial (Latour, 1993;
Latour dan Hermant 1998; Swyngedouw 1999—dalam Heynen et al., 2006).
Kehidupan membutuhkan dua hal dari lingkungannya, energi untuk
penyediaan daya yang menggerakkan ekosistem dan materi kimiawi untuk memberikan
substansi. Energi hilang setelah digunakan; materi kimiawi bersirkulasi di
dalam ekosistem, mengalami proses pendauran dan dapat digunakan berulang-ulang.
Energi tidak dapat didaur, berubah menjadi panas dan lenyap setelah digunakan
untuk suatu kegiatan—entrofi.
Ekologis Nancy McIntyre mendeskripsikan
ciri-ciri umum ekosistem urban: densitas populasi yang tinggi; dengan iklim
khas yang biasanya lebih panas, khususnya di malam hari; didominasi permukaan kedap antropogenik;
tingginya konsentrasi pencemaran (logam berat, gas pencemar, dan partikel); dan
dengan jejak ekologis yang besar (ketergantungan pada wilayah penyangga untuk
pasokan materi dan energi). Wilayah urban yang dominan digerakkan industri jasa
(biasanya di negara-negara maju) berbeda dengan wilayah urban yang dominan
digerakkan industri manufaktur (biasanya di negara-negara berkembang). Wilayah
urban cenderung meengalami transisi dari ekonomi berbasis manufaktur dengan
tingkat polusi tinggi menuju ekonomi berbasis jasa dengan tingkat polusi yang
lebih rendah.
Peneliti perkotaan Ian Douglas mengilustrasikan aliran materi dan energi
dan jasa ekosistem yang menghubungkan suatu
wilayah urban dengan wilayah-wilayah di luar batas administratifnya. Ekosistem
urban adalah wilayah terbangun yang merupakan habitat populasi manusia yang
bergantung pada dukungan eksternal dari wilayah-wilayah penyangga untuk pasokan
bahan pangan, energi, air dan materi lainnya. Ekosistem urban juga mencakup wilayah
pendukungnya yang lain yang menyediakan jasa ekologis dan (sekaligus) terdampak
oleh eksesnya seperti, tempat pembuangan sampah, zona rekreasi, tangkapan air, zona
penyerap gas rumah kaca (GRK), zona konservasi keanekaragaman hayati, dan yang
terdampak oleh emisi dan aliran limbah urban.
Peninjauan bujet materi dan energi wilayah urban saat ini banyak
mengadopsi pendekatan Metabolisme Urban. Sosiolog Karl Marx dan Friedrich Engels mengadopsi konsep metabolisme untuk mendeskripsikan sirkulasi dan
transformasi materi dalam suatu lingkungan. Nik Heynen menelusuri hubungan
ekonomi (kapital), manusia dan alam dalam karya-karya Marx yang mendeskripsikan
“perubahan materi” sebagai Stoffwechsel,
kosakata Jerman orisinil untuk metabolisme—yang menyatakan sirkulasi,
pertukaran dan transformasi materi. Materi dan energi yang dipasok ke wilayah
urban bertransformasi dalam jejaring kegiatan dan proses untuk menghasilkan
perubahan kualitatif pada wujud dan rangkaian-rangkaiannya. Sedangkan pada ilmu
biologi, konsep metabolisme muncul pada awal abad ke-19, khususnya terkait
dengan pertukaran materi di dalam tubuh, dan kemudian diperluas untuk
menjelaskan pertukaran materi diantara organisme dan lingkungan selain juga
proses-proses bio-fisikal diantara entitas kehidupan dan non-kehidupan. Metabolisme
menjadi suatu pendekatan yang luas diadopsi untuk menganalisa dan
mengkuantifikasi bujet dan transformasi materi dan energi di wilayah urban, yang
menyertakan interaksi aliran materi dan energi suatu kota dengan wilayah di
luar batas administratifnya.
Bagi peneliti metabolisme perkotaan, Xuemei
Bai and Heinz Schandl, relasi sosial merupakan analogi ekosistem, berfungsi
untuk mengelola kebutuhan-kebutuhan fundamental urban. Proses sosio-metabolik
menyatukan relasi sosial dan metabolisme untuk mengorganisasikan dan
mempertahankan kesinambungan pasokan materi dan energi yang diekstraksi dari
alam, mentransfromasinya pada kegiatan ekonomi, digunakan untuk mendirikan
bangunan, membuat kendaraan dan barang-barang, dan akhirnya dibuang ke
lingkungan dalam wujud limbah dan emisi melalui berbagai jalur (termasuk ke badan
air, udara dan tanah). Pada urban kontemporer, moda produksi kapitalis dan
relasi sosial masyarakat kelas mengorganisasikan sosio-metabolisme urban.
Kepemilikan dan penguasaan privat pada sumber daya, alat produksi dan sumber
daya manusia mengendalikan pasokan materi dan energi, proses transformasi dan
akses pada berbagai keluaran barang dan jasa—yang dibutuhkan untuk memproduksi
dan mereproduksi masyarakat kapitalis.
Ethan Decker dan rekan mengelompokkan cara-cara
wilayah urban mendapat pasokan materi dan energi untuk sosiso-metabolismenya.
Manusia melalui kegiatannya memasok materi dan energi secara aktif sedangkan
pasokan pasif diperoleh dari siklus alam. Pasokan aktif termasuk materi yang
“tersimpan” atau mengalami transformasi atau keduanya. Materi “tersimpan”
menjadi bagian dari lingkungan terbangun urban—seperti batu, kayu dan
metal—atau digunakan sampai menjadi limbah "tersimpan" di tempat
pembuangan sampah. Materi yang bertransformasi termasuk air, bahan pangan, dan
bahan bakar. Sistem urban juga menerima materi secara pasif melalui aliran air
di permukaan dan bawah permukaan, hujan, angin, dan radiasi mataharii. Angin
membawa gas dan partikel di udara ke wilayah urban. Radiasi matahari memasok
panas. Tanaman dan hewan bermigrasi ke kota-kota.
Penelitian
Ethan dan rekan mengkuantifikasi sosio-metabolisme urban. Kota-kota
besar menerima pasokan “tersimpan”
(material konstruksi) yang masif. Konstruksi rumah baru diestimasi mengkosumsi
450 kg material per meter persegi atau 5,8 gigajul energi dan termasuk
penggunaan energi secara langsung dan tidak langsung. Kebutuhan materi dan
energi konstruksi bangunan bertingkat yang sangat intensif energi, meningkat
secara eksponensial. Kota dikelola dengan pasokan energi besar—seperti sebuah megacity yang mengkonnsumsi 100 – 1.000
petajul energi per tahun untuk mengoperasikan transportasi, listrik dan
infrastruktur pengelola cuaca. Dari sudut pandang perubahan iklim global,
berarti adanya emisi dan akumulasi (karbon dioksida) CO2 atmosferik dari
penggunaan energi.
Christopher Kennedy dan rekan menyatakan
bahwa kota-kota kontemporer sebagian besar digerakkan oleh metabolisme
linear—dengan sedikit pensiklusan atau pendaur ulangan—dengan laju aliran
materi dan energi yang tinggi. Sebagian material bangunan dan sisa makanan,
kemasan, sampah elektronik dan berbagai sampah padat lainnya tersimpan di
tempat pembuangan sampah atau dibakar. Sampah padat organik terurai dan juga
berkonstribusi pada emisi gas rumah kaca (GRK) terutama metana dan emisi
lainnya termasuk etana dan hidrokarbon yang mengubah fotokimia global dan
memperburuk kualitas udara. Sampah organik juga menghasilkan lindi yang
mencemari tanah dan air (di permukaan dan bawah permukaan).
Air, pangan dan bahan bakar kemungkinan
adalah materi paling penting yang diimpor ke sistem urban. Transfer materi
pangan ke wilayah perkotaan berimbas pada siklus nitrogen seperti penggunaan
bahan bakar berimbas pada siklus karbon.
Unsur karbon dan nitrogen memberikan masa
dan/atau energi yang dibutuhkan oleh manusia dan peralatan dan infrastrukturnya
untuk dapat beroperasi—dan keduanya harus dipasok terus-menerus. Masing-masing unsur
membutuhkan banyak pasokan energi untuk diproduksi atau diekstraksi, diproses
dan ditransportasi dan kemudian ditransformasi menjadi produk limbah dengan
efek signifikan pada ekosistem di hulu sungai atau hulu angin.
Konsumsi makanan dan bahan bakar urban memobilisasi karbon dan nitrogen dalam
skala yang sangat masif. Ethan Decker dan rekan membahas pembebanan silus
biogeokimia limbah dan emisi dari
konsumsi urban merupakan bagian penting siklus karbon dan nitrogen lokal,
regional dan global. Kegiatan di dalam kota dan kegiatan untuk mendukung
kegiatan perkotaan yang berada di luar wilayah kota membebani siklus karbon,
sulfur dan nitrogen, dengan akibat hujan asam dan prubahan iklim global. Menurut
Stephan Pauleit dan rekan, wilayah urban diperkirakan berkontribusi untuk 80
persen emisi gas rumah kaca global yang membebani atmosfer. Sedangkan kegiatan
manusia pada rantai produksi dan konsumsi pangan dan pembakaran bahan bakar
fosil menghasilkan semakin banyak nitrogen reaktif dan sulfur yang menjadikan
hujan asam sebagai bagian dari siklus daur unsur-unsur tersebut.
Penelitian iklim oleh Bernhard Bauer
menunjukkan bagaimana sosio-metabolisme urban menyebabkan perubahan iklim
akibat, gangguan pada 1) siklus biogeokimia, 2) kondisi meteorologi serta 3) penyerapan
dan pelepasan gelombang panas. Iklim urban terutama suhu juga ditentukan
interaksi jenis permukaan, bangunan & meteorologi (radiasi matahari, angin,
kelembaban). Efek pulau panas urban (urban
heat island) adalah fenomena dimana wilayah-wilayah pusat urban mempunyai
suhu rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Hal ini
disebabkan oleh permukaan dengan albedo rendah di wilayah urban, dan
meningkatnya luas permuakaan media penyerap dan penyimpan panas. Permukaan
beton dan besi di wilayah urban lebih banyak menyerap gelombang panas matahari
dibandingkan memantulkannya, menyimpannya dan melepaskan radiasi gelombang
panas pada malam hari, berkontribusi pada suhu yang lebih tinggi.
SOSIO-METABOLISME KESENJANGAN (PANGAN URBAN)
Relasi sosial masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya yang menciptakan kelaparan merupakan situasi yang paling menghambat
pengembangan potensi manusia. Manusia tidak akan ada tanpa makanan. Sederhananya,
tubuh manusia yang tidak mendapatkan jumlah dan kualitas (gizi) makanan yang
cukup tidak akan dapat berfungsi. Kegiatan-kegiatan untuk produksi sosial dan
reproduksi akan menghadapi kendala dan/atau tidak mungkin dilakukan tanpa
makanan yang cukup.
Nik Heynen, seorang peneliti dan aktivis
perkotaan meninjau dimensi sosial, politik, dan ekonomi kelaparan di perkotaan. Tubuh merupakan
entitas biofisik yang membutuhkan makanan untuk metabolismenya, sedangkan relasi
sosial menentukan akses seseorang terhadap kuantitas dan kualitas bahan pangan/makanan. Manusia sebagai mamalia
mempunyai laju metabolik yang tinggi, mengkonsumsi dan memetabolisasi makanan
lebih cepat dari pada hewan berdarah dingin. Kebutuhan untuk makanan merupakan
tantangan fisiologis menghindari kelaparan, dan di sini manusia menghadapi
masalah-masalah ekologis tentang strategi untuk menghadapi ketidak-pastian
pasokan makanan. Menurut Levins dan Lewontin (dalam Swyngedouw, 2006) hal ini menghadirkan perjuangan terus-menerus untuk mengamankan
sejumlah makanan yang dibutuhkan, dan membuat manusia menjadi lebih rentan pada
kelayakan kondisi lingkungan untuk menghasilkan bahan pangan. Manusia bisa
menyimpan energi ekstra sebagai lemak tubuh seperti mamalia lain, tapi tidak
melakukannya karena pertimbangan-pertmbangan kesehatan dan kultural. Manusia
telah beradaptasi untuk menyimpan bahan pangan di luar tubuhnya yang menggiring
pada akumulasi oleh pihak yang mempunyai cara untuk menghasilkan pangan
surplus.
Di satu sisi Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa
(FAO) menyatakan bahwa rantai pasokan bahan pangan di zaman modern telah
berkembang sangat signifikan. Saat ini ketersediaan dan pilihan makanan di
banyak negara adalah yang terbanyak dalam sejarah, dan kemajuan yang signifikan
telah dicapai untuk mengurangi kelaparan di dunia. Dan kita tidak lagi
menyaksikan kekurangan pangan kronis di wilayah urban atau isu tersebut tidak
muncul di permukaan (media) karena tidak cukup sensasional. Kelaparan urban
terjadi dan tidak menarik banyak perhatian kecuali kasus-kasus spesifik yang
ditelusuri oleh media.
Provinsi DKI
Jakarta merupakan salah satu kota dengan tingkat kerawanan
pangan tinggi. Data Statistik Ketahanan Pangan 2014
menunjukkan tingkat kerawanan pangan penduduk Jakarta: 14,2 persen penduduk
termasuk dalam kategori sangat rawan pangan (konsumsi kurang dari 70 persen
Angka Kecukupan Gizi (AKG); dan 30,2 persen rawan pangan (konsumsi 70 – 89,9
persen AKG).
Komodifikasi pangan memperumit akses
dimana pasar komoditas pangan (regional dan global) menjadikan ketersediaan
pangan di “sini” didasarkan pada produksi pangan di tempat-tempat lain.
Jaringan infrastruktur kompleks mendefinisikan proses komodifikasi. Menurut
FAO, tingginya tingkat urbanisasi di negara berkembang dapat meningkatkan
jumlah populasi miskin dan ancaman bagi ketahanan pangan. Sejauh ini,
indikator-indikator utama ketahanan pangan dan nutrisi dalam konteks
perkembangan pesat kota berukuran sedang dan megacity menunjukkan kondisi yang muram dan telah terdokumentasi
luas. Galuh Syahbana Indraprahasta menjelaskan terjadinya
kecenderungan-kecenderungan tersebut dengan meneliti proporsi pendapatan untuk
belanja pangan. Pertama, belanja pangan penduduk di perkotaan adalah 30 persen
lebih banyak dari pada penduduk perdesaan dan kedua, kaum miskin kota
membelanjakan persentase signifikan, 60 – 80 persen pendapatannya untuk pangan.
Komodifikasi rantai pasokan makanan dan sarana pertanian, dari
ekstraksi, produksi hingga mencapai konsumen dan juga ketimpangan ekonomi
ekstrim bisa berarti bahwa banyak orang yang semakin sulit mendapatkan akses
langsung pada makanan.
Selain itu, FAO memaparkan beberapa masalah dan kendala produksi bahan
pangan. Kita sedang mengalami situasi berkurangnya keterampilan bertani dan di
mana banyak wilayah perdesaan menghadapi situasi penurunan populasi dan
kurangnya investasi pertanian. Beban pada daya dukung (lingkungan) mendorong
degradasi pada aset-aset lingkungan dan biofisik yang penting untuk
sistem-sistem produksi pangan. Beban tersebut termasuk juga degradasi akibat
cara kita memproduksi pangan—yang dapat mengurangi kapasitas kita untuk
memproduksi pangan di masa depan. Imbas perubahan iklim seperti meningkatnya
frekuensi musim kering, banjir, dan bencana alam lainnya juga sudah/sedang/akan
mengurangi produksi pangan di wilayah terdampak. Kecenderungan-kecenderungan
tersebut dapat berimbas pada peningkatan kerentanan untuk masyarakat miskin
urban (dan perdesaan) dengan kapasitasnya yang semakin menurun untuk mengatasi
krisis akut atau kronis. Perubahan iklim khususnya akan berimbas dan memperparah
efek-efek urbanisasi pada stabilitas ketersediaan pangan dan akses pangan.
Produksi pangan lokal memberi beragam
manfaat sosial, ekonomi dan ekologis. Dari sisi sosial-ekonomi, produksi pangan
lokal membuka lapangan pekerjaan terutama bagi populasi migran perkotaan dan
meningkatkan ketahanan pangan dan ketahanan gizi. Pertanian non-komersil bagi
keluarga berpendapatan rendah dapat meningkatkan akses dan kualitas bahan
pangan. Studi-studi yang ditinjau FAO menunjukkan signifikansi pertanian tanaman
pangan subsisten non-komersil skala rumah tangga sebagai sumber penting nutrisi
untuk masyarakat di negara-negara berpendapatan rendah dan juga tinggi. Akses
langsung pada bahan pangan segar juga mengurangi salah satu imbas buruk
urbanisasi yang menurut FAO adalah meningkatnya kebutuhan makanan yang diproses
yang mengurangi kualitas makanan dan kesehatan masyarakat.
Lahan pertanian di lingkungan urban menciptakan
iklim mikro sejuk yang juga menyebarkannya ke wilayah hulu angin, menambat dan
mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida (CO2), dan
mengurangi konsentrasi partikel di udara. Udara di wilayah hulu angin dari
lahan pertanian urban biasanya akan lebih bersih dan lebih dingin dibandingkan
wilayah lain di sekitarnya. Udara dengan suhu yang lebih rendah disebabkan
terutama oleh evapotranspirasi dan
naungan vegetasi yang menahan gelombang radiasi matahari, menambatnya dalam
fotosintesa, dan memantulkannya ke atmosfir/angkasa. Pertanian, transportasi (hasil pertanian) dan limbah dari makanan merupakan
sektor-sektor dengan emisi GRK yang signifikan. Pertanian urban mengurangi
ekses ekologis yang timbul dari rantai pasokan bahan pangan: 1) dengan penambatan
CO2 oleh tanaman pangan, 2) pengurangan emisi CO2 dari
transportasi bahan pangan dan 3) pengurangan emisi CO2 dari
penguraian sampah dengan pendauran limbah makanan dan pertanian.
Di kota-kota di seluruh dunia masyarakat telah membangun berbagai
program kegiatan, yang bersifat otonom dari ataupun yang berbasis kemitraan
dengan pemerintah, dalam kegiatan berbasis pangan di wilayah urban—pertanian,
penyelenggaraan dapur umum, program penyediaan makanan untuk murid sekolah, dan
pendistribusian bahan pangan pada penduduk miskin. Di banyak wilayah perkotaan,
pemerintah mendukung program-program pertanian baik dari segi kebijakan maupun implementasinya.
Banyak pertanian urban merupakan perkembangan spontan yang didorong oleh krisis
ekonomi yang diprakarsai dan dikelola otonom oleh masyarakat. Beragam kelompok
masyarakat sipil juga melakukan kegiatan dapur umum dan pendistribusian bahan
pangan.
Di wilayah urban Jakarta sendiri banyak ditemui zona-zona otonom
tersebut, inisiatif-inisiatif warga untuk menggunakan lahan-lahan terlantar
untuk pertanian. Salah satu contoh inisiatif masyarakat yang paling baik, terkenal
dan mendapatkan banyak penghargaan adalah yang diprakarsai oleh Bang Idin yang
merevitalisasi Sungai Pesanggrahan di Jakarta Selatan—inisiatif restorasi ruang
terbuka hijau, hutan kota dan biofisik lingkungan dengan pendekatan wanatani (agroforestry). Pendistribusian makanan
yang dilakukan secara otonom dan rutin adalah “Pangan Bukan Senjata” (PBS) yang
merupakan gerakan keadilan pangan dan anti kekerasan yang mengadopsi gerakan
“Food Not Bombs” di Amerika Serikat. Gerakan tersebut terjadi selama beberapa
tahun di beberapa kota di Indonesia termasuk Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Pati, Rembang dan Palembang.
Ratusan juta orang terlibat dalam budidaya
tanaman pangan di kebun dan lahan di wilayah urban. Dari awal terbentuknya
kota, warga menanam tanaman pangan di lahan-lahan kosong di wilayah urban.
Sebagian berubah menjadi taman dipenuhi tanaman hias dan rumput, namun
pertanian urban masih bertahan. Produksi pangan terjadi pada sisa-sisa lahan di
peri-urban, sub-urban dan juga lahan-lahan kosong temporer dan celah-celah yang
jarang digunakan di perkotaan (Mougeot, 2005 dan van Veenhuizen,
2006 dalam Forman, 2011 ). Bahkan di megacity, alam-ruang terbuka selalu
hadir: ruang terbuka yang belum seluruhnya terbangun; taman; tepi-tepi jalur
air yang mengaliri kota-kota; hutan kota, dan di gedung-gedung (balkon, taman
di atap) (FAO, 2015).
Galuh menelusuri perkembangan pertanian urban
di Jakarta yang menurutnya dimulai setelah kriris ekonomi 1998 dan telah
menciptakan perkerjaan musiman. Pada waktu itu banyak penduduk yang menduduki
lahan negara dan lahan milik Soeharto. Kegiatan-kegiatan pertanian urban juga
dikembangkan dengan menyewa lahan. Manfaat-manfaat pertanian urban untuk kaum
miskin kota adalah, penciptaan lapangan kerja alternatif dan akses pangan yang
lebih baik. Sutiyoso, mantan Gubernur Jakarta, menyadari akan adanya
manfaat-manfaat tersebut dan mendukung pertanian urban melalui beberapa skema. Pertanian
urban menjamur dengan dukungan-dukungan yang diberikan di beberapa lokasi,
mis., lahan yang disiapkan untuk pembangunan tol di Jakarta Barat, lahan yang
disiapkan untuk pembangunan gedung di Kuningan dan bekas bandara di Kemayoran.
Data luas lahan pertanian di Jakarta dan
perubahan luas tahunan dari beberapa lembaga ditemukan tidak terlalu konsisten
dan menunjukkan perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Menurut data BPS,
lahan sawah di Jakarta yang pada tahun 2003 mencapai hampir 3.000 hektar (4%
luas daratan Jakarta), tersisa hanya 895 hektar (1,4%) pada tahun 2013.
Penurunan luas lahan sawah terjadi ajeg dari tahun ke tahun. Sedangkan data
dari Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta
menunjukkan bahwa luas lahan pertanian cenderung stabil dari 2010 – 2014—sekitar
10.000 hektar (15%) yang termasuk lahan pertanian teknis, setengah teknis,
tadah hujan, pekarangan, tegalan dan lain-lainnya. Sedangkan luas hutan kota
adalah 149 hektar. Berdasarkan penelitian Galuh, pertanian urban di Jakarta
hanya memasok 1,2 persen kebutuhan beras, 0,5 persen kebutuhan sayur dan 19,6
persen kebutuhan buah-buahan.
Galuh mengulas pertanian urban di
kota-kota di dunia, menunjukkan bahwa produksi tersebut dapat berperan penting
dalam penyediaan bahan pangan lokal. Di Belanda, 33 persen produksi pertanian
berasal dari pertanian urban, di Vancouver dan Amerika, 44 dan 10 persen
populasi, bertutur-turut, berpartisipasi dalam pertanian urban.
Kajian kebijakan terkait pertanian urban oleh Galuh menemukan bahwa
belum ada keselarasan kebijakan untuk pertanian urban diantara kementerian dan
pemerintah daerah. Peraturan tata ruang tidak mengklasifikasi pertanian urban
sebagai kegiatan formal baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Kementrian Dalam Negeri mengklasifikasi lahan pertanian urban sebagai ruang
terbuka hijau (RTH), sementara bagi Kementerian Pekerjaan Umum pertanian urban
tidak termasuk dalam klasifikasi RTH. Regulasi pada tingkat provinsi, khususnya
dalam Rencana Tara Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta, 2010 - 2030, beberapa pasal
mendemonstrasikan lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian urban.
Meskipun pertanian urban diakomodir, dokumen RTRW tidak secara menyeluruh dan
konsisten mengaitkan RTH dengan pertanian urban.
Kajian Galuh pada kondisi pertanian eksisting menunjukkan bahwa manfaat
sosial dan ekonomi pertanian urban dihargai dan direspon
dengan dukungan “peminjaman” lahan meskipun tidak secara formal. Korporat juga
telah menyalurkan kontribusi-kontribusinya untuk komunitas lokal yang
dikoordinasi oleh kelompok-kelompok Pemeberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
(PKK). Di tingkat nasional, Kementerian Pertanian
juga mempertimbangkan penggunaan lahan terlantar untuk pertanian urban. Kajian
oleh Adiyoga dan rekan menyimpulkan
bahwa dukungan dalam bentuk insentif dan disinsentif dibutuhkan untuk
menggalakkan masyarakat berpartisipasi dalam pengembangan pertanian urban.
Inisiatif-inisiatif sukarela oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah juga
dilakukan dalam penyediaan lahan pertanian urban, khususnya untuk tujuan-tujuan
ekologis seperti penanaman pohon buah-buahan di bantaran Sungai Ciliwung. Galuh
membahas pengkajian oleh Utami, Oktarina, dan Yang dan rekan yang mengusulkan pertanian urban
yang dapat dikembangkan sebagai agro-turisme jika memenuhi kriteria seperti, terwujudnya
lanskap pertanian, aksesibilitas yang baik, adanya infrastruktur pendukung dan penerimaan
publik. Turisme yang demikian dapat memicu perkembangan ekonomi dan
meningkatkan peluang pembukaan lapangan pekerjaan.
URBANISME EKOLOGIS
Beberapa ekologis Robert
McDonald dan rekan, mengajukan pertanyaan yang sederhana namun dengan topik
yang kompleks “apakah urbanisasi baik atau buruk bagi lingkungan? Berdasarkan peninjauan oleh Nik Heynen tentang situasi wilayah perkotaan
di awal era modern dan bayangan masa depan distopianya: visioner sepanjang abad
ke-19 sudah menyatakan karakter ke-tidak-berlanjutan kota pada zaman modern
awal dan mengusulkan solusi dan rencana untuk “mengobati” distopia
sosio-lingkungan yang mencirikan kehidupan urban. Ahli lingkungan, Lester
Brown (dalam McDonald dan Marcotullio, 2011), dengan tegas menyatakan bahwa
kota adalah sesuatu yang tidak alami dan berbiaya tinggi. Menurutnya
orang-orang yang tinggal di perkotaan membebankan ekosistem-ekosistem Bumi
hanya karena begitu banyak sumberdaya harus dikonsentrasikan di wilayah urban
untuk melayani kebutuhan harian penduduk diwilayah tersebut. Pandangan tersebut telah
didukung studi jejak ekologis kota-kota— yang sangat besar dimana kota
memerlukan ratusan kali luas lahan kota-kota tersebut untuk menyokong sumber
daya yang menggerakkan kegiatannya. Sedangkan Eugene Odum, juga seorang
ekologis, mengatakan (dalam McDonald dan Marcotullio, 2011) bahwa gambaran
realistis tentang hubungan kota-Bumi
adalah seperti hubungan parasit-inang.
Robert dan rekan
menelusuri, pengaruh kota yang umum pada lingkungan berdasarkan penelusuran
beberapa dekade, kemudian mendiskusikan alternatif selain urbanisasi, juga
membahas transisi lingkungan urban. Penelusuran tersebut merumuskan beberapa
kesimpulan. Tidak ditemukannya masyarakat kaya yang tidak mengalami urbanisasi
karena wilayah urban merupakan ruang dimana populasi terkonsentrasi dimana juga
terjadi banyak perubahan lain dengan adanya konsentrasi populasi selama proses
pembangunan. Urbanisasi berkontribusi untuk perubahan-perubahan tersebut
sebagai hasil dan juga sebagai kekuatan yang mendorongnya. Menurut ekonom,
perusahaan mendapatkan manfaat berada pada klaster perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam bidang sejenis karena biaya yang lebih rendah dan meningkatnya
spesialisasi tenaga kerja. Dan aglomerasi perusahaan tersebut merupakan contoh
skala ekonomi untuk suatu usaha. Meskipun teknologi telah mengurangi dan
menyederhanakan konektivitas jarak jauh, penyebaran populasi keluar dari urban
belum terjadi. Faktor-faktor lain yang menunjang kontinuitas konsentrasi
populasi adalah biaya infrastruktur yang relatif rendah karena layanan
menjangkau populasi yang relatif banyak.
Robert dan rekan
menyimpulkan transisi lingkungan urban dari tahap industrialisasi menuju pusat
penyedia jasa. Pada tahap awal permasalahan lingkungan yang parah terjadi: kontaminasi
berat pada udara dan air seiring pengembangan wilayah urban industrial.
Transformasi wilayah urban kemudian adalah dengan pola konsumsi material dan
pelepasan emisi yang tinggi, dan meenggeser masalah lingkungan lokal ke tingkat
regional dan global—seperti, hujan asam, perubahan iklim, kelangkaan air dan
perusakkan lapisan ozon. Transisi yang telah terjadi pada ekonomi di belahan Utara
yang berbasis penyediaan jasa memungkinkan kehidupan urban yang lebih baik
dimana penduduk mulai menikmati kehidupan yang lebih panjang dan kesehatan yang
lebih baik, peningkatan pendapatan dan secara umum kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan penduduk perdesaan. Dengan densitas penduduk yang tinggi dan
akses terhadap fasilitas yang lebih baik menyebabkan berkurangnya belanja
energi untuk transportasi dan pengoperasian fasilitas dimana ditemukan emisi gas
rumah kaca (GRK) per kapita penduduk urban (di belahan Utara) lebih sedikit
dari pada di perdesaan. Hal ini mungkin tidak berlaku pada masyarakat di tahap
awal transisi wilayah urban. Transisi urban di negara-negara berkembang juga
mempunyai sifat yang berbeda, dimana masyarakat di wilayah-wilayah urban
tersebut menghadapi sekaligus tantangan lokal dan regional-global. Kita, di
negara berkembang menghadapi tantangan lingkungan dari industri dan motorisasi
dengan beban polusi pada badan air dan udara, peningkatan konsumsi material, dan juga menghadapi tantangan
regional-global—terutama perubahan iklim. Beban-beban tersebut terjadi dengan
laju yang sangat cepat. Meskipun tantangan dan resiko yang dihadapi tersebut
menakutkan, kita juga mempunyai peluang-peluang untuk melakukan transisi yang
cepat. Teknologi transportasi rendah
emisi, infrastruktur hijau, industrialisasi rendah emisi dan pengetahuan
perancangan tata ruang sangat mungkin digunakan untuk mentransformasi wilayah
urban di negara-negara berkembang.
Terlepas dari “optimisme berbasis teknologi dan ilmu pengetahuan” yang dikemukakan
oleh Robert dan rekan, ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu—ekologi,
lingkungan, geografi, arsitektur dan ilmu humaniora pada kenyataannya belum menyepakati
komponen-komponen kota apa saja yang harus diikutkan dalam paradigma liat pembangunan
kota yang berkelanjutan. Menurut Simon Joss, kerangka dan indikator kinerja
untuk kota berkelanjutan yang terdepan saat ini adalah “Positive Development Program” yang difokuskan pada netralitas GRK, Kerangka “One Planet Living” yang berbasis analisis jejak ekologis dan
“Tianjin Eco-City Key Performance Indicators”, yang dirancang sebagai kerangka nasional
untuk beberapa inisiatif kota-eko yang
sedang dilaksanakan saat di Tiongkok. Simon meyimpulkan bahwa
perbedaan-perbedaan diantara kerangka dan indikator kinerja tersebut mengarah
pada diversifikasi dan bukan saling menguatkan—implementasi kota berkelanjutan.
Secara lebih luas negara mendasari tujuan-tujuan keberlanjutan berdasarkan
definisi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yaitu “pembangunan
yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.
Kesenjangan akses, yang paling mendasar, pada bahan pangan dan lebih
spesifik pada kesenjangan ekonomi yang ekstrim, ditunjukkan oleh Indeks Gini di
perkotaan yang selalu lebih besar dibandingkan dengan perdesaan dan meningkat
dari tahun ke tahun. Di sini, Henri Lefebvre (dalam Heynen et al., 2006) mengingatkan
kita tentang apa sebenarnya urban, yaitu, sesuatu yang mirip dengan kolam ombak
luas dan beraneka ragam, penuh dengan ambivalensi ruang dengan banyak peluang,
keriangan dan potensi membebaskan, yang juga terjalin dengan ruang-ruang
opresi, eksklusi dan marginalisasi. Kota seperti menjanjikan emansipasi dan
kebebasan ketika dengan tangkas memecut represi dan dominasi (Merrifield and
Swyngedouw, 1997 dalam Heynen et al., 2006). Perubahan tanpa henti dan mosaik
ekologi urban yang berbeda secara lingkungan dan sosio-kultural—dari lanskap
taman terawat masyarakat berpalang (gated
communities) dan kampus berteknologi canggih, hingga lingkungan permukiman
suram dengan tembok yang dilulur dengan cat yang mengandung timbal, tempat
pembuangan sampah dan wilayah yang dipenuhi polusi—masih membentuk koreografi
proses urbanisasi kapitalis. Ratusan tahun yang lalu Friedrich Engels (dalam Heynen
et al., 2006) mengamati kondisi sanitasi dan ekologis yang muram di kota-kota
besar di Inggris, yang terkait dengan karakter kelas pada urbanisasi
industrial. Dan kita tidak bisa
berpaling dari pengulangan kondisi ratusan tahun tersebut pada kondisi
eksisting.
Kita menghadapi ketidakpastian ketika kita mempraktekkan kehati-hatian pada optimisme teknologi,
dan juga ketika kita menemui stagnasi dengan
pesimisme yang menihilkan seluruh kapasitas, potensi dan kemungkinan akan lompatan transformasi urban di negara-negara
berkembang. Kita bisa memilih untuk mengkonstruksi
masa depan yang masih berada
dalam relung potensi dan kemungkinan. Kemudian memahami pemberdayaan urban di negara berkembang
sebagai suatu proses produksi dan reproduksi terus menerus yang berada dalam
relung potensi untuk pengembangan dan artikulasi urbanisme ekologis yang menyuarakan keadilan ekonomi dan lingkungan.
Inisiatif-inisiatif masyarakat dan
kelompok-kelompok sipil telah memperjuangkan ruang-ruang hidup yang berada di
luar kesadaran negara. Penataan wilayah kumuh yang dilakukan oleh masyarakat
dan kelompok-kelompok masyarakat sipil dan pegiat kemanusiaan—Romo
Mangunwijaya, Urban Poor Consortium, Ciliwung Merdeka—telah mengambil inisiatif
untuk mentransformasi ruang-ruang masyarakat marjinal. Inisiatif-inisiatif
tersebut menjadikan dirinya sebagai proyek konstruksi komunitas-komunitas marjinal yang mampu menjadi wadah untuk
mengelaborasi dan mengartikulasikan urbanisme
ekologis yang bertitik tolak dari keadilan sosial, lingkungan dan keberlanjutan.
Urbanisme ekologis dapat mengintegrasikan sains dan ilmu pengetahuan humaniora
untuk menghadapi banyaknya tantangan kota-kota saat ini seperti perubaan iklim
dan transformasi ke masa depan melampaui bahan bakar fosil. Jasa ekosistem
dapat berperan penting untuk memfasilitasi transfromasi tersebut. Philip James
menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan ekologi memungkinkan adanya
solusi-solusi untuk kekurangan pangan, mitigasi perubahan iklim, dan
pengurangan ketergantungan pada teknologi berbasis bahan bakar fosil.
Christine Alfsen dan rekan yang meneliti jasa ekosistem urban menemukan
bahwa wilayah-wilayah urban seringkali memiliki potensi substansial dalam
pengadaan jasa ekosistem, meskipun sering tidak direalisasikan. Tanaman dan
taman kota dapat mengurangi efek “pulau panas urban” dan tutupan tanaman
(seperti atap dan dinding hijau) berpotensi untuk menurunkan suhu di dalam
gedung. Tanaman di wilayah urban juga dapat berperan dalam mitigasi perubahan
iklim dengan asimilasi karbon. Dari investigasi yang sudah dilakukan ditemukan
penambatan 41 persen emisi karbon dioksida (CO2) dari transportasi
di Stockholm. Erwan Kow meneliti potensi penambatan CO2 eksisting di
taman kota menunjukkan potensi penambatan karbon sebesar 32,7 juta ton per
tahun, sepertiga emisi karbon dari transportasi di Indonesia (jika 30 persen
wilayah urban di Indonesia merupakan ruang terbuka hijau (RTH), seperti dimandatkan
Undang-undang No.
26/2007. Menurut Chiristine dan rekan, manfaat tanaman dan RTH tanaman juga mencakup:
pengurangan kebisingan hingga 6 desibel; pengurangan prevalensi asma usia muda;
penurunan obesitas; dan peningkatan kemampuan mengatasi stres, kekhawatiran dan
pemulihan tekanan mental lainnya. Namun, ditemukan juga bahwa ada ketimpangan
signifikan pada distribusi dan keterjangkauan RTH bagi masyarakat dari kelompok
sosial-ekonomi yang berbeda, yang berkontribusi bagi ke-tidak-adilan akses
untuk hidup sehat.
Urbanisme ekologis
juga selayaknya memperhatikan jejak ekologis suatu wilayah urban, dampaknya
pada wilayah-wilayah yang melayani metabolismenya. Jasa ekosistem yang berada
di luar wilayah perkotaan dan berhubungan dengannya termasuk, beragam fungsi
alam yang memberikan manfaat pada manusia melalui
proses-proses alami berbagai komponen lingkungan biotis (kehidupan) dan abiotis
(non-kehidupan termasuk, air, mineral, udara). Jasa-jasa lingkungan yang secara
langsung dan tidak langsung dibutuhkan wilayah urban adalah pengelolaan
kualitas udara, pengelolaan iklim, penyediaan air, purifikasi air, pengendalian
erosi, pengolahan limbah, pengendalian penyakit manusia, penyerbukan dan
proteksi dari badai.
Urbanisme ekologis menyadari pentingnya
kota yang berkelanjutan, integritas lingkungan lokal dan dampaknya pada
wilayah-wilayah penyangga. Ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan peluang
dan potensi terwujudnya tujuan-tujuan ekologis di wilayah urban. Inspirasi dan
tindakan otonom menghadirkan peluang artikulasi perjuangan untuk keadilan
ekonomi dan lingkungan, visi-visi urbanisme ekologis.
PUSTAKA
Alfsen C., Duval A.,
dan Elmqvist T. 2011. The urban landscape as a social-ecological system for
governance of ecosystem services. Dalam:
Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns,
processes, and applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal.
212-218.
Bai X. and Schandl H.
2011.Urban ecology and industrial ecology. Dalam:
Douglas I, Goode D, Houck M dan Wang R (Eds.). The Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis
e-Library. Hal. 26-37.
Bauer B. 1998. Assessment of human-biometeorological conditions in
different kinds of urban structures. Dalam:
Breuste J., Feldmann H., dan Uhlmann O. (Eds.). Urban ecology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. Hal.
82-86.
Bey, H. 1991. The temporary autonomous zone, ontological anarchy, poetic terrorism. Autonomedia.
Decker E. H., Elliott
S., Smith F. A., Blake D. R., Rowland F. S. 2000. Energy and material flow
through the urban ecosystem. Annu. Rev. Energy
Environ. 25:685–740.
Douglas I. 2011.
Introduction. Dalam: Douglas I.,
Goode D., Houck M. dan Wang R. (Eds.). The
Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis e-Library. Hal.
3-6.
Douglas I. 2011. The
analysis of cities as ecosystems. Dalam:
Douglas I., Goode D., Houck M. dan Wang R.
(Eds.). The Routledge handbook of
urban ecology. Taylor & Francis e-Library. Hal. 17-25.
Kow, E. 2014. Analysis of potentials of carbon dioxide storage and sequestration of
city parks in Bandung City (Thesis). Bandung Institute of Technology,
Bandung.
FAO. Tahun tidak diketahui. Food, agriculture
and cities. Challenges of food and nutrition security,
agriculture and
ecosystem management in an urbanizing world. FAO.
Forman R. T. T. 2011. Urban ecology. Cambridge University
Press.
Heynen N. 2006.
Justice of eating in the city: the political ecology of urban hunger. Dalam: Heynen, N., Kaika M. dan Swyngedouw E. (Eds). In the Nature of Cities.Urban political ecology and the politics of
urban metabolism. Routledge, London. Hal. 124-136.
Heynen, N., Kaika, M.
dan Swyngedouw, E. 2006. Urban political ecology. Politicizing the production
of urban natures. Dalam: Heynen, N., Kaika, M. dan Swyngedouw, E.
(Eds). In the Nature of Cities.Urban
political ecology and the politics of urban metabolism. Routledge, London. Hal.
1-19.
Indraprahasta G. S.
2013. The potential of urban agriculture development in Jakarta. Procedia Environmental Sciences 17 (
2013 ) 11 – 19. doi: 10.1016/j.proenv.2013.02.006. Elsevier.
James P. 2011.
Summary. Section 5.6. Building Urban Biodiversity through Financial Incentives,
Regulation, and Targets. Dalam:
Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns,
processes, and applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal.
317-318.
Joss S. 2015. Sustainable cities. Palgrave.
Kennedy C., Pincetl S.
dan Bunje P. 2010. The study of urban metabolism and its applications to urban
planning and design. Environmental
Pollution. doi:10.1016/j.envpol.2010.10.022.
McDonald R. dan
Marcotullio P. 2011. Global effects of urbanization on ecosystem services. Dalam: Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns, processes, and
applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal. 193-204.
McIntyre N. E. 2011.
Urban ecology: definitions and goals. Dalam: Douglas I, Goode D, Houck M dan Wang R (Eds.). The Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis
e-Library. Hal. 7-16.
Pauleit S. dan Breuste J. 2011. Chapter 1.1. Land-use and surface-cover as urban ecological indicators. Dalam: Niemelä J (Ed.). Urban ecology
patterns, processes, and applications. Oxford University Press Inc., New
York. Hal. 19-29.
Swyngedouw E. 2006.
Metabolic urbanization. The making of cyborg cities. Dalam: Heynen N., Kaika M. dan Swyngedouw E. (Eds.). In the Nature of Cities.Urban political ecology and the politics of
urban metabolism. Routledge, London. Hal. 20-39.