Rabu, 21 Juni 2017

SOSIO-METABOLISME KESENJANGAN URBAN

Pembangunan wilayah urban mengakselerasi perubahan-perubahan drastis pada lingkungan, pada tutupan lahan, badan dan jalur air, ketersediaan sumber daya alam dan pelepasan emisi dan limbah yang berdampak pada siklus biogeokimia. Beberapa perubahan terlihat jelas dan/atau dapat terdeteksi oleh indera manusia secara langsung seperti pencemaran, terutama air, udara, dan tanah, penyusutan daerah tangkapan air, dan sebagian lebih gradual, seperti perubahan iklim. Wilayah urban memerlukan pasokan materi dan energi terus menerus untuk menjalankan kegiatan dan menghidupi populasinya. Pasokan-pasokan tersebut banyak yang dijangkau dari luar batas administratif suatu wilayah urba, mis. pasokan bahan pangan dan energi. Metabolisme urban—pergerakkan materi dan energi dan transformasinya—menghasilkan luaran berupa bangunan dan infrastruktur, energi listrik, energi panas, produk manufaktur, produk jasa, limbah dan emisi. Jangkauan dampak lingkungan metabolisme urban seperti kerusakan bentang lahan-air (landwaterscape), ekstraksi sumber daya, emisi, polusi, penipisan sumberdaya, dll.— menyerupai jangkauan pasokannya—lokal, regional dan global.

Urbanisasi adalah proses sosio-metabolik dimana metabolisme materi dan energi digerakkan oleh relasi-relasi sosial. Metabolisme kota— rantai pergerakkan materi dan energi, dari produksi hingga konsumsi—ditentukan oleh relasi sosial yang dalam urbanisasi kapitalis adalah relasi penguasaan/kepemilikan sumber daya, teknologi dan sumber daya manusia.

Bahan pangan dan makanan merupakan salah satu pasokan materi terpenting ke wilayah urban. Sosio-metabolisme bahan pangan—rantai pasokan dari produksi hingga distribusi/akses—menentukan kuantitas dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi penduduk dari berbagai strata sosial. Peninjauan yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), menyatakan kondisi buruk untuk ketahanan pangan dan nutrisi di kota berukuran sedang dan megacity yang sedang berkembang pesat. Komodifikasi pangan dan ketimpangan ekonomi ekstrim bisa berarti bahwa banyak orang yang semakin sulit mendapatkan akses langsung pada makanan. Wilayah urban dan penyangganya juga dihadapkan pada masa depan pasokan pangan yang volatil meningkatnya kerentanan produksi bahan pangan akibat perubahan iklim dan degradsi lingkungan pendukung pertanian.

Produksi pangan lokal di wilayah urban memberi beragam insentif sosial, ekonomi dan ekologis. Lahan pertanian di lingkungan urban menciptakan iklim mikro sejuk yang menyebar ke hulu angin, mengurangi emisi dan menambat gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida (CO2), dan mengurangi konsentrasi partikel di udara. Studi-studi yang ditinjau FAO menunjukkan bahwa produksi subsisten non-komersil skala rumah tangga dapat menjadi sumber penting nutrisi. Di kota-kota di seluruh dunia masyarakat secara otonom ataupun dengan kemitraan dengan pemerintah telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan ketahanan pangan urban termasuk melalui pertanian urban dan pendistribusian bahan pangan atau makanan.

Wilayah perkotaan membebankan ekosistem-ekosistem Bumi karena begitu banyak sumberdaya yang harus dikonsentrasikan di wilayah urban. Tantangan dan resiko lingkungan dan kehidupan yang dihadapi urban kontemporer menakutkan, terutama di negara-negara berkembang di mana ditemui tingkat pencemaran yang tinggi dan perubahan bentang lahan-air yang drastis. Penurunan kualitas lingkungan dan fungsi ekosistem terjadi pada wilayah-wilayah dengan basis ekonomi yang dominan industri manufaktur tersebut, diiringi perkembangan pesat infrastruktur dan transportasi kendaraan bermotor.

Kesenjangan akses, yang paling mendasar, pada bahan pangan dan lebih spesifik pada kesenjangan ekonomi yang ekstrim terjadi di kota-kota. Etalase sosio-metabolisme urbanisasi kapitalis tercermin pada mosaik ekologi urban: wilayah-wilayah kumuh tercemar dengan kondisi sanitasi dan ekologis yang buruk; permukiman asri kelas atas; infrastruktur yang megah dan terpuruk; wilayah-wilayah industri tercemar; wilayah perkantoran elit; pusat-pusat belanja; jalan-jalan yang terpelihara dan terlantar; dan ruang terbuka hijau (RTH) terawat dan terbengkalai.

Di sisi lain kita juga mempunyai peluang-peluang untuk melakukan transformasi dramatis terutama untuk menghadapi tantangan kota-kota saat ini seperti, perubaan iklim, kesenjangan kualitas lingkungan dan transformasi ke masa depan melampaui bahan bakar fosil. Ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan peluang dan potensi terwujudnya tujuan-tujuan ekologis di wilayah urban. Inspirasi dan tindakan otonom menghadirkan peluang artikulasi visi-visi urbanisme ekologis— perjuangan-perjuangan untuk keadilan sosial dan lingkungan.


SOSIO-METABOLISME URBAN


Berbagai transformasi dan metabolisme yang mendukung dan mempertahankan kehidupan urban seperti misalnya, air, pangan, komputer dan hamburger selalu dikombinasikan tanpa batas menghubungkan proses-proses fisikal dan sosial (Latour, 1993; Latour dan Hermant 1998; Swyngedouw 1999—dalam Heynen et al., 2006).

Kehidupan membutuhkan dua hal dari lingkungannya, energi untuk penyediaan daya yang menggerakkan ekosistem dan materi kimiawi untuk memberikan substansi. Energi hilang setelah digunakan; materi kimiawi bersirkulasi di dalam ekosistem, mengalami proses pendauran dan dapat digunakan berulang-ulang. Energi tidak dapat didaur, berubah menjadi panas dan lenyap setelah digunakan untuk suatu kegiatan—entrofi.

Ekologis Nancy McIntyre mendeskripsikan ciri-ciri umum ekosistem urban: densitas populasi yang tinggi; dengan iklim khas yang biasanya lebih panas, khususnya di malam hari;  didominasi permukaan kedap antropogenik; tingginya konsentrasi pencemaran (logam berat, gas pencemar, dan partikel); dan dengan jejak ekologis yang besar (ketergantungan pada wilayah penyangga untuk pasokan materi dan energi). Wilayah urban yang dominan digerakkan industri jasa (biasanya di negara-negara maju) berbeda dengan wilayah urban yang dominan digerakkan industri manufaktur (biasanya di negara-negara berkembang). Wilayah urban cenderung meengalami transisi dari ekonomi berbasis manufaktur dengan tingkat polusi tinggi menuju ekonomi berbasis jasa dengan tingkat polusi yang lebih rendah.

Peneliti perkotaan Ian Douglas mengilustrasikan aliran materi dan energi dan jasa ekosistem  yang menghubungkan suatu wilayah urban dengan wilayah-wilayah di luar batas administratifnya. Ekosistem urban adalah wilayah terbangun yang merupakan habitat populasi manusia yang bergantung pada dukungan eksternal dari wilayah-wilayah penyangga untuk pasokan bahan pangan, energi, air dan materi lainnya. Ekosistem urban juga mencakup wilayah pendukungnya yang lain yang menyediakan jasa ekologis dan (sekaligus) terdampak oleh eksesnya seperti, tempat pembuangan sampah, zona rekreasi, tangkapan air, zona penyerap gas rumah kaca (GRK), zona konservasi keanekaragaman hayati, dan yang terdampak oleh emisi dan aliran limbah urban.

Peninjauan bujet materi dan energi wilayah urban saat ini banyak mengadopsi pendekatan Metabolisme Urban. Sosiolog Karl Marx dan Friedrich Engels mengadopsi konsep metabolisme untuk mendeskripsikan sirkulasi dan transformasi materi dalam suatu lingkungan. Nik Heynen menelusuri hubungan ekonomi (kapital), manusia dan alam dalam karya-karya Marx yang mendeskripsikan “perubahan materi” sebagai Stoffwechsel, kosakata Jerman orisinil untuk metabolisme—yang menyatakan sirkulasi, pertukaran dan transformasi materi. Materi dan energi yang dipasok ke wilayah urban bertransformasi dalam jejaring kegiatan dan proses untuk menghasilkan perubahan kualitatif pada wujud dan rangkaian-rangkaiannya. Sedangkan pada ilmu biologi, konsep metabolisme muncul pada awal abad ke-19, khususnya terkait dengan pertukaran materi di dalam tubuh, dan kemudian diperluas untuk menjelaskan pertukaran materi diantara organisme dan lingkungan selain juga proses-proses bio-fisikal diantara entitas kehidupan dan non-kehidupan. Metabolisme menjadi suatu pendekatan yang luas diadopsi untuk menganalisa dan mengkuantifikasi bujet dan transformasi materi dan energi di wilayah urban, yang menyertakan interaksi aliran materi dan energi suatu kota dengan wilayah di luar batas administratifnya.

Bagi peneliti metabolisme perkotaan, Xuemei Bai and Heinz Schandl, relasi sosial merupakan analogi ekosistem, berfungsi untuk mengelola kebutuhan-kebutuhan fundamental urban. Proses sosio-metabolik menyatukan relasi sosial dan metabolisme untuk mengorganisasikan dan mempertahankan kesinambungan pasokan materi dan energi yang diekstraksi dari alam, mentransfromasinya pada kegiatan ekonomi, digunakan untuk mendirikan bangunan, membuat kendaraan dan barang-barang, dan akhirnya dibuang ke lingkungan dalam wujud limbah dan emisi melalui berbagai jalur (termasuk ke badan air, udara dan tanah). Pada urban kontemporer, moda produksi kapitalis dan relasi sosial masyarakat kelas mengorganisasikan sosio-metabolisme urban. Kepemilikan dan penguasaan privat pada sumber daya, alat produksi dan sumber daya manusia mengendalikan pasokan materi dan energi, proses transformasi dan akses pada berbagai keluaran barang dan jasa—yang dibutuhkan untuk memproduksi dan mereproduksi masyarakat kapitalis.

Ethan Decker dan rekan mengelompokkan cara-cara wilayah urban mendapat pasokan materi dan energi untuk sosiso-metabolismenya. Manusia melalui kegiatannya memasok materi dan energi secara aktif sedangkan pasokan pasif diperoleh dari siklus alam. Pasokan aktif termasuk materi yang “tersimpan” atau mengalami transformasi atau keduanya. Materi “tersimpan” menjadi bagian dari lingkungan terbangun urban—seperti batu, kayu dan metal—atau digunakan sampai menjadi limbah "tersimpan" di tempat pembuangan sampah. Materi yang bertransformasi termasuk air, bahan pangan, dan bahan bakar. Sistem urban juga menerima materi secara pasif melalui aliran air di permukaan dan bawah permukaan, hujan, angin, dan radiasi mataharii. Angin membawa gas dan partikel di udara ke wilayah urban. Radiasi matahari memasok panas. Tanaman dan hewan bermigrasi ke kota-kota.

Penelitian  Ethan dan rekan mengkuantifikasi sosio-metabolisme urban. Kota-kota besar menerima pasokan  “tersimpan” (material konstruksi) yang masif. Konstruksi rumah baru diestimasi mengkosumsi 450 kg material per meter persegi atau 5,8 gigajul energi dan termasuk penggunaan energi secara langsung dan tidak langsung. Kebutuhan materi dan energi konstruksi bangunan bertingkat yang sangat intensif energi, meningkat secara eksponensial. Kota dikelola dengan pasokan energi besar—seperti sebuah megacity yang mengkonnsumsi 100 – 1.000 petajul energi per tahun untuk mengoperasikan transportasi, listrik dan infrastruktur pengelola cuaca. Dari sudut pandang perubahan iklim global, berarti adanya emisi dan akumulasi (karbon dioksida) CO2 atmosferik dari penggunaan energi.

Christopher Kennedy dan rekan menyatakan bahwa kota-kota kontemporer sebagian besar digerakkan oleh metabolisme linear—dengan sedikit pensiklusan atau pendaur ulangan—dengan laju aliran materi dan energi yang tinggi. Sebagian material bangunan dan sisa makanan, kemasan, sampah elektronik dan berbagai sampah padat lainnya tersimpan di tempat pembuangan sampah atau dibakar. Sampah padat organik terurai dan juga berkonstribusi pada emisi gas rumah kaca (GRK) terutama metana dan emisi lainnya termasuk etana dan hidrokarbon yang mengubah fotokimia global dan memperburuk kualitas udara. Sampah organik juga menghasilkan lindi yang mencemari tanah dan air (di permukaan dan bawah permukaan).

Air, pangan dan bahan bakar kemungkinan adalah materi paling penting yang diimpor ke sistem urban. Transfer materi pangan ke wilayah perkotaan berimbas pada siklus nitrogen seperti penggunaan bahan bakar berimbas pada siklus karbon.

Unsur karbon dan nitrogen memberikan masa dan/atau energi yang dibutuhkan oleh manusia dan peralatan dan infrastrukturnya untuk dapat beroperasi—dan keduanya harus dipasok terus-menerus. Masing-masing unsur membutuhkan banyak pasokan energi untuk diproduksi atau diekstraksi, diproses dan ditransportasi dan kemudian ditransformasi menjadi produk limbah dengan efek signifikan pada ekosistem di hulu sungai atau hulu angin.

Konsumsi makanan dan bahan bakar urban memobilisasi karbon dan nitrogen dalam skala yang sangat masif. Ethan Decker dan rekan membahas pembebanan silus biogeokimia  limbah dan emisi dari konsumsi urban merupakan bagian penting siklus karbon dan nitrogen lokal, regional dan global. Kegiatan di dalam kota dan kegiatan untuk mendukung kegiatan perkotaan yang berada di luar wilayah kota membebani siklus karbon, sulfur dan nitrogen, dengan akibat hujan asam dan prubahan iklim global. Menurut Stephan Pauleit dan rekan, wilayah urban diperkirakan berkontribusi untuk 80 persen emisi gas rumah kaca global yang membebani atmosfer. Sedangkan kegiatan manusia pada rantai produksi dan konsumsi pangan dan pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan semakin banyak nitrogen reaktif dan sulfur yang menjadikan hujan asam sebagai bagian dari siklus daur unsur-unsur tersebut.

Penelitian iklim oleh Bernhard Bauer menunjukkan bagaimana sosio-metabolisme urban menyebabkan perubahan iklim akibat, gangguan pada 1) siklus biogeokimia, 2) kondisi meteorologi serta 3) penyerapan dan pelepasan gelombang panas. Iklim urban terutama suhu juga ditentukan interaksi jenis permukaan, bangunan & meteorologi (radiasi matahari, angin, kelembaban). Efek pulau panas urban (urban heat island) adalah fenomena dimana wilayah-wilayah pusat urban mempunyai suhu rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh permukaan dengan albedo rendah di wilayah urban, dan meningkatnya luas permuakaan media penyerap dan penyimpan panas. Permukaan beton dan besi di wilayah urban lebih banyak menyerap gelombang panas matahari dibandingkan memantulkannya, menyimpannya dan melepaskan radiasi gelombang panas pada malam hari, berkontribusi pada suhu yang lebih tinggi.


SOSIO-METABOLISME KESENJANGAN (PANGAN URBAN)

Relasi sosial masyarakat dalam pengelolaan sumber daya yang menciptakan kelaparan merupakan situasi yang paling menghambat pengembangan potensi manusia. Manusia tidak akan ada tanpa makanan. Sederhananya, tubuh manusia yang tidak mendapatkan jumlah dan kualitas (gizi) makanan yang cukup tidak akan dapat berfungsi. Kegiatan-kegiatan untuk produksi sosial dan reproduksi akan menghadapi kendala dan/atau tidak mungkin dilakukan tanpa makanan yang cukup.

Nik Heynen, seorang peneliti dan aktivis perkotaan meninjau dimensi sosial, politik, dan ekonomi  kelaparan di perkotaan. Tubuh merupakan entitas biofisik yang membutuhkan makanan untuk metabolismenya, sedangkan relasi sosial menentukan akses seseorang terhadap kuantitas dan kualitas  bahan pangan/makanan. Manusia sebagai mamalia mempunyai laju metabolik yang tinggi, mengkonsumsi dan memetabolisasi makanan lebih cepat dari pada hewan berdarah dingin. Kebutuhan untuk makanan merupakan tantangan fisiologis menghindari kelaparan, dan di sini manusia menghadapi masalah-masalah ekologis tentang strategi untuk menghadapi ketidak-pastian pasokan makanan. Menurut Levins dan Lewontin (dalam Swyngedouw, 2006) hal ini menghadirkan perjuangan terus-menerus untuk mengamankan sejumlah makanan yang dibutuhkan, dan membuat manusia menjadi lebih rentan pada kelayakan kondisi lingkungan untuk menghasilkan bahan pangan. Manusia bisa menyimpan energi ekstra sebagai lemak tubuh seperti mamalia lain, tapi tidak melakukannya karena pertimbangan-pertmbangan kesehatan dan kultural. Manusia telah beradaptasi untuk menyimpan bahan pangan di luar tubuhnya yang menggiring pada akumulasi oleh pihak yang mempunyai cara untuk menghasilkan pangan surplus.

Di satu sisi Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) menyatakan bahwa rantai pasokan bahan pangan di zaman modern telah berkembang sangat signifikan. Saat ini ketersediaan dan pilihan makanan di banyak negara adalah yang terbanyak dalam sejarah, dan kemajuan yang signifikan telah dicapai untuk mengurangi kelaparan di dunia. Dan kita tidak lagi menyaksikan kekurangan pangan kronis di wilayah urban atau isu tersebut tidak muncul di permukaan (media) karena tidak cukup sensasional. Kelaparan urban terjadi dan tidak menarik banyak perhatian kecuali kasus-kasus spesifik yang ditelusuri oleh media.

Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu kota dengan tingkat kerawanan pangan tinggi. Data Statistik Ketahanan Pangan 2014 menunjukkan tingkat kerawanan pangan penduduk Jakarta: 14,2 persen penduduk termasuk dalam kategori sangat rawan pangan (konsumsi kurang dari 70 persen Angka Kecukupan Gizi (AKG); dan 30,2 persen rawan pangan (konsumsi 70 – 89,9 persen AKG).

Komodifikasi pangan memperumit akses dimana pasar komoditas pangan (regional dan global) menjadikan ketersediaan pangan di “sini” didasarkan pada produksi pangan di tempat-tempat lain. Jaringan infrastruktur kompleks mendefinisikan proses komodifikasi. Menurut FAO, tingginya tingkat urbanisasi di negara berkembang dapat meningkatkan jumlah populasi miskin dan ancaman bagi ketahanan pangan. Sejauh ini, indikator-indikator utama ketahanan pangan dan nutrisi dalam konteks perkembangan pesat kota berukuran sedang dan megacity menunjukkan kondisi yang muram dan telah terdokumentasi luas. Galuh Syahbana Indraprahasta menjelaskan terjadinya kecenderungan-kecenderungan tersebut dengan meneliti proporsi pendapatan untuk belanja pangan. Pertama, belanja pangan penduduk di perkotaan adalah 30 persen lebih banyak dari pada penduduk perdesaan dan kedua, kaum miskin kota membelanjakan persentase signifikan, 60 – 80 persen pendapatannya untuk pangan.

Komodifikasi rantai pasokan makanan dan sarana pertanian, dari ekstraksi, produksi hingga mencapai konsumen dan juga ketimpangan ekonomi ekstrim bisa berarti bahwa banyak orang yang semakin sulit mendapatkan akses langsung pada makanan.

Selain itu, FAO memaparkan beberapa masalah dan kendala produksi bahan pangan. Kita sedang mengalami situasi berkurangnya keterampilan bertani dan di mana banyak wilayah perdesaan menghadapi situasi penurunan populasi dan kurangnya investasi pertanian. Beban pada daya dukung (lingkungan) mendorong degradasi pada aset-aset lingkungan dan biofisik yang penting untuk sistem-sistem produksi pangan. Beban tersebut termasuk juga degradasi akibat cara kita memproduksi pangan—yang dapat mengurangi kapasitas kita untuk memproduksi pangan di masa depan. Imbas perubahan iklim seperti meningkatnya frekuensi musim kering, banjir, dan bencana alam lainnya juga sudah/sedang/akan mengurangi produksi pangan di wilayah terdampak.  Kecenderungan-kecenderungan tersebut dapat berimbas pada peningkatan kerentanan untuk masyarakat miskin urban (dan perdesaan) dengan kapasitasnya yang semakin menurun untuk mengatasi krisis akut atau kronis. Perubahan iklim khususnya akan berimbas dan memperparah efek-efek urbanisasi pada stabilitas ketersediaan pangan dan akses pangan.

Produksi pangan lokal memberi beragam manfaat sosial, ekonomi dan ekologis. Dari sisi sosial-ekonomi, produksi pangan lokal membuka lapangan pekerjaan terutama bagi populasi migran perkotaan dan meningkatkan ketahanan pangan dan ketahanan gizi. Pertanian non-komersil bagi keluarga berpendapatan rendah dapat meningkatkan akses dan kualitas bahan pangan. Studi-studi yang ditinjau FAO menunjukkan signifikansi pertanian tanaman pangan subsisten non-komersil skala rumah tangga sebagai sumber penting nutrisi untuk masyarakat di negara-negara berpendapatan rendah dan juga tinggi. Akses langsung pada bahan pangan segar juga mengurangi salah satu imbas buruk urbanisasi yang menurut FAO adalah meningkatnya kebutuhan makanan yang diproses yang mengurangi kualitas makanan dan kesehatan masyarakat.

Lahan pertanian di lingkungan urban menciptakan iklim mikro sejuk yang juga menyebarkannya ke wilayah hulu angin, menambat dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida (CO2), dan mengurangi konsentrasi partikel di udara. Udara di wilayah hulu angin dari lahan pertanian urban biasanya akan lebih bersih dan lebih dingin dibandingkan wilayah lain di sekitarnya. Udara dengan suhu yang lebih rendah disebabkan terutama oleh evapotranspirasi  dan naungan vegetasi yang menahan gelombang radiasi matahari, menambatnya dalam fotosintesa, dan memantulkannya ke atmosfir/angkasa. Pertanian, transportasi (hasil pertanian) dan limbah dari makanan merupakan sektor-sektor dengan emisi GRK yang signifikan. Pertanian urban mengurangi ekses ekologis yang timbul dari rantai pasokan bahan pangan: 1) dengan penambatan CO2 oleh tanaman pangan, 2) pengurangan emisi CO2 dari transportasi bahan pangan dan 3) pengurangan emisi CO2 dari penguraian sampah dengan pendauran limbah makanan dan pertanian.

Di kota-kota di seluruh dunia masyarakat telah membangun berbagai program kegiatan, yang bersifat otonom dari ataupun yang berbasis kemitraan dengan pemerintah, dalam kegiatan berbasis pangan di wilayah urban—pertanian, penyelenggaraan dapur umum, program penyediaan makanan untuk murid sekolah, dan pendistribusian bahan pangan pada penduduk miskin. Di banyak wilayah perkotaan, pemerintah mendukung program-program pertanian baik dari segi kebijakan maupun implementasinya. Banyak pertanian urban merupakan perkembangan spontan yang didorong oleh krisis ekonomi yang diprakarsai dan dikelola otonom oleh masyarakat. Beragam kelompok masyarakat sipil juga melakukan kegiatan dapur umum dan pendistribusian bahan pangan.     

Di wilayah urban Jakarta sendiri banyak ditemui zona-zona otonom tersebut, inisiatif-inisiatif warga untuk menggunakan lahan-lahan terlantar untuk pertanian. Salah satu contoh inisiatif masyarakat yang paling baik, terkenal dan mendapatkan banyak penghargaan adalah yang diprakarsai oleh Bang Idin yang merevitalisasi Sungai Pesanggrahan di Jakarta Selatan—inisiatif restorasi ruang terbuka hijau, hutan kota dan biofisik lingkungan dengan pendekatan wanatani (agroforestry). Pendistribusian makanan yang dilakukan secara otonom dan rutin adalah “Pangan Bukan Senjata” (PBS) yang merupakan gerakan keadilan pangan dan anti kekerasan yang mengadopsi gerakan “Food Not Bombs” di Amerika Serikat. Gerakan tersebut terjadi selama beberapa tahun di beberapa kota di Indonesia termasuk Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Pati, Rembang dan Palembang.

Ratusan juta orang terlibat dalam budidaya tanaman pangan di kebun dan lahan di wilayah urban. Dari awal terbentuknya kota, warga menanam tanaman pangan di lahan-lahan kosong di wilayah urban. Sebagian berubah menjadi taman dipenuhi tanaman hias dan rumput, namun pertanian urban masih bertahan. Produksi pangan terjadi pada sisa-sisa lahan di peri-urban, sub-urban dan juga lahan-lahan kosong temporer dan celah-celah yang jarang digunakan di perkotaan (Mougeot, 2005 dan van Veenhuizen, 2006 dalam Forman, 2011 ). Bahkan di megacity, alam-ruang terbuka selalu hadir: ruang terbuka yang belum seluruhnya terbangun; taman; tepi-tepi jalur air yang mengaliri kota-kota; hutan kota, dan di gedung-gedung (balkon, taman di atap) (FAO, 2015).

Galuh menelusuri perkembangan pertanian urban di Jakarta yang menurutnya dimulai setelah kriris ekonomi 1998 dan telah menciptakan perkerjaan musiman. Pada waktu itu banyak penduduk yang menduduki lahan negara dan lahan milik Soeharto. Kegiatan-kegiatan pertanian urban juga dikembangkan dengan menyewa lahan. Manfaat-manfaat pertanian urban untuk kaum miskin kota adalah, penciptaan lapangan kerja alternatif dan akses pangan yang lebih baik. Sutiyoso, mantan Gubernur Jakarta, menyadari akan adanya manfaat-manfaat tersebut dan mendukung pertanian urban melalui beberapa skema. Pertanian urban menjamur dengan dukungan-dukungan yang diberikan di beberapa lokasi, mis., lahan yang disiapkan untuk pembangunan tol di Jakarta Barat, lahan yang disiapkan untuk pembangunan gedung di Kuningan dan bekas bandara di Kemayoran.

Data luas lahan pertanian di Jakarta dan perubahan luas tahunan dari beberapa lembaga ditemukan tidak terlalu konsisten dan menunjukkan perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Menurut data BPS, lahan sawah di Jakarta yang pada tahun 2003 mencapai hampir 3.000 hektar (4% luas daratan Jakarta), tersisa hanya 895 hektar (1,4%) pada tahun 2013. Penurunan luas lahan sawah terjadi ajeg dari tahun ke tahun. Sedangkan data dari Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa luas lahan pertanian cenderung stabil dari 2010 – 2014—sekitar 10.000 hektar (15%) yang termasuk lahan pertanian teknis, setengah teknis, tadah hujan, pekarangan, tegalan dan lain-lainnya. Sedangkan luas hutan kota adalah 149 hektar. Berdasarkan penelitian Galuh, pertanian urban di Jakarta hanya memasok 1,2 persen kebutuhan beras, 0,5 persen kebutuhan sayur dan 19,6 persen kebutuhan buah-buahan.

Galuh mengulas pertanian urban di kota-kota di dunia, menunjukkan bahwa produksi tersebut dapat berperan penting dalam penyediaan bahan pangan lokal. Di Belanda, 33 persen produksi pertanian berasal dari pertanian urban, di Vancouver dan Amerika, 44 dan 10 persen populasi, bertutur-turut, berpartisipasi dalam pertanian urban.

Kajian kebijakan terkait pertanian urban oleh Galuh menemukan bahwa belum ada keselarasan kebijakan untuk pertanian urban diantara kementerian dan pemerintah daerah. Peraturan tata ruang tidak mengklasifikasi pertanian urban sebagai kegiatan formal baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Kementrian Dalam Negeri mengklasifikasi lahan pertanian urban sebagai ruang terbuka hijau (RTH), sementara bagi Kementerian Pekerjaan Umum pertanian urban tidak termasuk dalam klasifikasi RTH. Regulasi pada tingkat provinsi, khususnya dalam Rencana Tara Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta, 2010 - 2030, beberapa pasal mendemonstrasikan lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian urban. Meskipun pertanian urban diakomodir, dokumen RTRW tidak secara menyeluruh dan konsisten mengaitkan RTH dengan pertanian urban.

Kajian Galuh pada kondisi pertanian eksisting menunjukkan bahwa manfaat sosial dan ekonomi pertanian urban dihargai dan direspon dengan dukungan “peminjaman” lahan meskipun tidak secara formal. Korporat juga telah menyalurkan kontribusi-kontribusinya untuk komunitas lokal yang dikoordinasi oleh kelompok-kelompok Pemeberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Di tingkat nasional, Kementerian Pertanian juga mempertimbangkan penggunaan lahan terlantar untuk pertanian urban. Kajian oleh Adiyoga dan rekan menyimpulkan bahwa dukungan dalam bentuk insentif dan disinsentif dibutuhkan untuk menggalakkan masyarakat berpartisipasi dalam pengembangan pertanian urban. Inisiatif-inisiatif sukarela oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah juga dilakukan dalam penyediaan lahan pertanian urban, khususnya untuk tujuan-tujuan ekologis seperti penanaman pohon buah-buahan di bantaran Sungai Ciliwung. Galuh membahas pengkajian oleh Utami, Oktarina, dan Yang dan rekan yang mengusulkan pertanian urban yang dapat dikembangkan sebagai agro-turisme jika memenuhi kriteria seperti, terwujudnya lanskap pertanian, aksesibilitas yang baik, adanya infrastruktur pendukung dan penerimaan publik. Turisme yang demikian dapat memicu perkembangan ekonomi dan meningkatkan peluang pembukaan lapangan pekerjaan.


URBANISME EKOLOGIS

Beberapa ekologis Robert McDonald dan rekan, mengajukan pertanyaan yang sederhana namun dengan topik yang kompleks “apakah urbanisasi baik atau buruk bagi lingkungan? Berdasarkan peninjauan oleh Nik Heynen tentang situasi wilayah perkotaan di awal era modern dan bayangan masa depan distopianya: visioner sepanjang abad ke-19 sudah menyatakan karakter ke-tidak-berlanjutan kota pada zaman modern awal dan mengusulkan solusi dan rencana untuk “mengobati” distopia sosio-lingkungan yang mencirikan kehidupan urban. Ahli lingkungan, Lester Brown (dalam McDonald dan Marcotullio, 2011), dengan tegas menyatakan bahwa kota adalah sesuatu yang tidak alami dan berbiaya tinggi. Menurutnya orang-orang yang tinggal di perkotaan membebankan ekosistem-ekosistem Bumi hanya karena begitu banyak sumberdaya harus dikonsentrasikan di wilayah urban untuk melayani kebutuhan harian penduduk diwilayah tersebut.  Pandangan tersebut telah didukung studi jejak ekologis kota-kota— yang sangat besar dimana kota memerlukan ratusan kali luas lahan kota-kota tersebut untuk menyokong sumber daya yang menggerakkan kegiatannya. Sedangkan Eugene Odum, juga seorang ekologis, mengatakan (dalam McDonald dan Marcotullio, 2011) bahwa gambaran realistis tentang hubungan  kota-Bumi adalah seperti hubungan parasit-inang.

Robert dan rekan menelusuri, pengaruh kota yang umum pada lingkungan berdasarkan penelusuran beberapa dekade, kemudian mendiskusikan alternatif selain urbanisasi, juga membahas transisi lingkungan urban. Penelusuran tersebut merumuskan beberapa kesimpulan. Tidak ditemukannya masyarakat kaya yang tidak mengalami urbanisasi karena wilayah urban merupakan ruang dimana populasi terkonsentrasi dimana juga terjadi banyak perubahan lain dengan adanya konsentrasi populasi selama proses pembangunan. Urbanisasi berkontribusi untuk perubahan-perubahan tersebut sebagai hasil dan juga sebagai kekuatan yang mendorongnya. Menurut ekonom, perusahaan mendapatkan manfaat berada pada klaster perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang sejenis karena biaya yang lebih rendah dan meningkatnya spesialisasi tenaga kerja. Dan aglomerasi perusahaan tersebut merupakan contoh skala ekonomi untuk suatu usaha. Meskipun teknologi telah mengurangi dan menyederhanakan konektivitas jarak jauh, penyebaran populasi keluar dari urban belum terjadi. Faktor-faktor lain yang menunjang kontinuitas konsentrasi populasi adalah biaya infrastruktur yang relatif rendah karena layanan menjangkau populasi yang relatif banyak.

Robert dan rekan menyimpulkan transisi lingkungan urban dari tahap industrialisasi menuju pusat penyedia jasa. Pada tahap awal permasalahan lingkungan yang parah terjadi: kontaminasi berat pada udara dan air seiring pengembangan wilayah urban industrial. Transformasi wilayah urban kemudian adalah dengan pola konsumsi material dan pelepasan emisi yang tinggi, dan meenggeser masalah lingkungan lokal ke tingkat regional dan global—seperti, hujan asam, perubahan iklim, kelangkaan air dan perusakkan lapisan ozon. Transisi yang telah terjadi pada ekonomi di belahan Utara yang berbasis penyediaan jasa memungkinkan kehidupan urban yang lebih baik dimana penduduk mulai menikmati kehidupan yang lebih panjang dan kesehatan yang lebih baik, peningkatan pendapatan dan secara umum kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan penduduk perdesaan. Dengan densitas penduduk yang tinggi dan akses terhadap fasilitas yang lebih baik menyebabkan berkurangnya belanja energi untuk transportasi dan pengoperasian fasilitas dimana ditemukan emisi gas rumah kaca (GRK) per kapita penduduk urban (di belahan Utara) lebih sedikit dari pada di perdesaan. Hal ini mungkin tidak berlaku pada masyarakat di tahap awal transisi wilayah urban. Transisi urban di negara-negara berkembang juga mempunyai sifat yang berbeda, dimana masyarakat di wilayah-wilayah urban tersebut menghadapi sekaligus tantangan lokal dan regional-global. Kita, di negara berkembang menghadapi tantangan lingkungan dari industri dan motorisasi dengan beban polusi pada badan air dan udara, peningkatan konsumsi material,  dan juga menghadapi tantangan regional-global—terutama perubahan iklim. Beban-beban tersebut terjadi dengan laju yang sangat cepat. Meskipun tantangan dan resiko yang dihadapi tersebut menakutkan, kita juga mempunyai peluang-peluang untuk melakukan transisi yang cepat.  Teknologi transportasi rendah emisi, infrastruktur hijau, industrialisasi rendah emisi dan pengetahuan perancangan tata ruang sangat mungkin digunakan untuk mentransformasi wilayah urban di negara-negara berkembang.

Terlepas dari “optimisme berbasis teknologi dan ilmu pengetahuan” yang dikemukakan oleh Robert dan rekan, ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu—ekologi, lingkungan, geografi, arsitektur dan ilmu humaniora pada kenyataannya belum menyepakati komponen-komponen kota apa saja yang harus diikutkan dalam paradigma liat pembangunan kota yang berkelanjutan. Menurut Simon Joss, kerangka dan indikator kinerja untuk kota berkelanjutan yang terdepan saat ini adalah “Positive Development Program” yang difokuskan pada netralitas GRK, Kerangka “One Planet Living yang berbasis analisis jejak ekologis dan “Tianjin Eco-City Key Performance Indicators, yang dirancang sebagai kerangka nasional untuk beberapa inisiatif  kota-eko yang sedang dilaksanakan saat di Tiongkok. Simon meyimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan diantara kerangka dan indikator kinerja tersebut mengarah pada diversifikasi dan bukan saling menguatkan—implementasi kota berkelanjutan. Secara lebih luas negara mendasari tujuan-tujuan keberlanjutan berdasarkan definisi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yaitu “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.

Kesenjangan akses, yang paling mendasar, pada bahan pangan dan lebih spesifik pada kesenjangan ekonomi yang ekstrim, ditunjukkan oleh Indeks Gini di perkotaan yang selalu lebih besar dibandingkan dengan perdesaan dan meningkat dari tahun ke tahun. Di sini, Henri Lefebvre (dalam Heynen et al., 2006) mengingatkan kita tentang apa sebenarnya urban, yaitu, sesuatu yang mirip dengan kolam ombak luas dan beraneka ragam, penuh dengan ambivalensi ruang dengan banyak peluang, keriangan dan potensi membebaskan, yang juga terjalin dengan ruang-ruang opresi, eksklusi dan marginalisasi. Kota seperti menjanjikan emansipasi dan kebebasan ketika dengan tangkas memecut represi dan dominasi (Merrifield and Swyngedouw, 1997 dalam Heynen et al., 2006). Perubahan tanpa henti dan mosaik ekologi urban yang berbeda secara lingkungan dan sosio-kultural—dari lanskap taman terawat masyarakat berpalang (gated communities) dan kampus berteknologi canggih, hingga lingkungan permukiman suram dengan tembok yang dilulur dengan cat yang mengandung timbal, tempat pembuangan sampah dan wilayah yang dipenuhi polusi—masih membentuk koreografi proses urbanisasi kapitalis. Ratusan tahun yang lalu Friedrich Engels (dalam Heynen et al., 2006) mengamati kondisi sanitasi dan ekologis yang muram di kota-kota besar di Inggris, yang terkait dengan karakter kelas pada urbanisasi industrial.  Dan kita tidak bisa berpaling dari pengulangan kondisi ratusan tahun tersebut pada kondisi eksisting.
Kita menghadapi ketidakpastian ketika kita mempraktekkan kehati-hatian pada optimisme teknologi, dan juga ketika kita menemui stagnasi dengan pesimisme yang menihilkan seluruh kapasitas, potensi dan kemungkinan akan lompatan transformasi urban di negara-negara berkembang. Kita bisa memilih untuk mengkonstruksi masa depan yang masih berada dalam relung potensi dan kemungkinan. Kemudian memahami pemberdayaan urban di negara berkembang sebagai suatu proses produksi dan reproduksi terus menerus yang berada dalam relung potensi untuk pengembangan dan artikulasi urbanisme ekologis yang menyuarakan keadilan ekonomi dan lingkungan.
Inisiatif-inisiatif masyarakat dan kelompok-kelompok sipil telah memperjuangkan ruang-ruang hidup yang berada di luar kesadaran negara. Penataan wilayah kumuh yang dilakukan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat sipil dan pegiat kemanusiaan—Romo Mangunwijaya, Urban Poor Consortium, Ciliwung Merdeka—telah mengambil inisiatif untuk mentransformasi ruang-ruang masyarakat marjinal. Inisiatif-inisiatif tersebut menjadikan dirinya sebagai proyek konstruksi komunitas-komunitas marjinal yang mampu menjadi wadah untuk mengelaborasi dan mengartikulasikan urbanisme ekologis yang bertitik tolak dari keadilan sosial, lingkungan dan keberlanjutan.
Urbanisme ekologis dapat mengintegrasikan sains dan ilmu pengetahuan humaniora untuk menghadapi banyaknya tantangan kota-kota saat ini seperti perubaan iklim dan transformasi ke masa depan melampaui bahan bakar fosil. Jasa ekosistem dapat berperan penting untuk memfasilitasi transfromasi tersebut. Philip James menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan ekologi memungkinkan adanya solusi-solusi untuk kekurangan pangan, mitigasi perubahan iklim, dan pengurangan ketergantungan pada teknologi berbasis bahan bakar fosil.

Christine Alfsen dan rekan yang meneliti jasa ekosistem urban menemukan bahwa wilayah-wilayah urban seringkali memiliki potensi substansial dalam pengadaan jasa ekosistem, meskipun sering tidak direalisasikan. Tanaman dan taman kota dapat mengurangi efek “pulau panas urban” dan tutupan tanaman (seperti atap dan dinding hijau) berpotensi untuk menurunkan suhu di dalam gedung. Tanaman di wilayah urban juga dapat berperan dalam mitigasi perubahan iklim dengan asimilasi karbon. Dari investigasi yang sudah dilakukan ditemukan penambatan 41 persen emisi karbon dioksida (CO2) dari transportasi di Stockholm. Erwan Kow meneliti potensi penambatan CO2 eksisting di taman kota menunjukkan potensi penambatan karbon sebesar 32,7 juta ton per tahun, sepertiga emisi karbon dari transportasi di Indonesia (jika 30 persen wilayah urban di Indonesia merupakan ruang terbuka hijau (RTH), seperti dimandatkan Undang-undang No. 26/2007. Menurut Chiristine dan rekan, manfaat tanaman dan RTH tanaman juga mencakup: pengurangan kebisingan hingga 6 desibel; pengurangan prevalensi asma usia muda; penurunan obesitas; dan peningkatan kemampuan mengatasi stres, kekhawatiran dan pemulihan tekanan mental lainnya. Namun, ditemukan juga bahwa ada ketimpangan signifikan pada distribusi dan keterjangkauan RTH bagi masyarakat dari kelompok sosial-ekonomi yang berbeda, yang berkontribusi bagi ke-tidak-adilan akses untuk hidup sehat.

Urbanisme ekologis juga selayaknya memperhatikan jejak ekologis suatu wilayah urban, dampaknya pada wilayah-wilayah yang melayani metabolismenya. Jasa ekosistem yang berada di luar wilayah perkotaan dan berhubungan dengannya termasuk, beragam fungsi alam yang memberikan manfaat pada manusia melalui proses-proses alami berbagai komponen lingkungan biotis (kehidupan) dan abiotis (non-kehidupan termasuk, air, mineral, udara). Jasa-jasa lingkungan yang secara langsung dan tidak langsung dibutuhkan wilayah urban adalah pengelolaan kualitas udara, pengelolaan iklim, penyediaan air, purifikasi air, pengendalian erosi, pengolahan limbah, pengendalian penyakit manusia, penyerbukan dan proteksi dari badai.

Urbanisme ekologis menyadari pentingnya kota yang berkelanjutan, integritas lingkungan lokal dan dampaknya pada wilayah-wilayah penyangga. Ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan peluang dan potensi terwujudnya tujuan-tujuan ekologis di wilayah urban. Inspirasi dan tindakan otonom menghadirkan peluang artikulasi perjuangan untuk keadilan ekonomi dan lingkungan, visi-visi urbanisme ekologis.


PUSTAKA

Alfsen C., Duval A., dan Elmqvist T. 2011. The urban landscape as a social-ecological system for governance of ecosystem services. Dalam: Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns, processes, and applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal. 212-218.
Bai X. and Schandl H. 2011.Urban ecology and industrial ecology. Dalam: Douglas I, Goode D, Houck M dan Wang R (Eds.). The Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis e-Library. Hal. 26-37.
Bauer B. 1998. Assessment of human-biometeorological conditions in different kinds of urban structures. Dalam: Breuste J., Feldmann H., dan Uhlmann O. (Eds.). Urban ecology. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. Hal. 82-86.
Bey, H. 1991. The temporary autonomous zone, ontological anarchy, poetic terrorism. Autonomedia.
Decker E. H., Elliott S., Smith F. A., Blake D. R., Rowland F. S. 2000. Energy and material flow through the urban ecosystem. Annu. Rev. Energy Environ. 25:685–740.
Douglas I. 2011. Introduction. Dalam: Douglas I., Goode D., Houck M. dan Wang R. (Eds.). The Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis e-Library. Hal. 3-6.
Douglas I. 2011. The analysis of cities as ecosystems. Dalam: Douglas I., Goode D., Houck M. dan Wang R.  (Eds.). The Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis e-Library. Hal. 17-25.
Kow, E. 2014. Analysis of potentials of carbon dioxide storage and sequestration of city parks in Bandung City (Thesis). Bandung Institute of Technology, Bandung.
FAO. Tahun tidak diketahui. Food, agriculture and cities. Challenges of food and nutrition security,
agriculture and ecosystem management in an urbanizing world. FAO.
Forman R. T. T. 2011. Urban ecology. Cambridge University Press.
Heynen N. 2006. Justice of eating in the city: the political ecology of urban hunger. Dalam: Heynen, N., Kaika M. dan Swyngedouw E. (Eds). In the Nature of Cities.Urban political ecology and the politics of urban metabolism. Routledge, London. Hal. 124-136.
Heynen, N., Kaika, M. dan Swyngedouw, E. 2006. Urban political ecology. Politicizing the production of urban natures. Dalam: Heynen, N., Kaika, M. dan Swyngedouw, E. (Eds). In the Nature of Cities.Urban political ecology and the politics of urban metabolism. Routledge, London. Hal. 1-19.
Indraprahasta G. S. 2013. The potential of urban agriculture development in Jakarta. Procedia Environmental Sciences 17 ( 2013 ) 11 – 19. doi: 10.1016/j.proenv.2013.02.006. Elsevier.
James P. 2011. Summary. Section 5.6. Building Urban Biodiversity through Financial Incentives, Regulation, and Targets. Dalam: Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns, processes, and applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal. 317-318.
Joss S. 2015. Sustainable cities. Palgrave.
Kennedy C., Pincetl S. dan Bunje P. 2010. The study of urban metabolism and its applications to urban planning and design. Environmental Pollution. doi:10.1016/j.envpol.2010.10.022.
McDonald R. dan Marcotullio P. 2011. Global effects of urbanization on ecosystem services. Dalam: Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns, processes, and applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal. 193-204.
McIntyre N. E. 2011. Urban ecology: definitions and goals. Dalam: Douglas I, Goode D, Houck M dan Wang R (Eds.). The Routledge handbook of urban ecology. Taylor & Francis e-Library. Hal. 7-16.
Pauleit S. dan Breuste J. 2011. Chapter 1.1. Land-use and surface-cover as urban ecological indicators. Dalam: Niemelä J (Ed.). Urban ecology patterns, processes, and applications. Oxford University Press Inc., New York. Hal. 19-29.
Swyngedouw E. 2006. Metabolic urbanization. The making of cyborg cities. Dalam: Heynen N., Kaika M. dan Swyngedouw E. (Eds.). In the Nature of Cities.Urban political ecology and the politics of urban metabolism. Routledge, London. Hal. 20-39.