Jumat, 14 Oktober 2016

MENUJU EKONOMI HIJAU




 Dalam satu perempat abad terakhir, 60 persen jasa dan sumber daya ekosistem utama dunia telah terdegradasi atau digunakan secara tidak berkelanjutan (UNEP, 2011). Ekonomi hijau (EH) (green economy) yang digagas oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) bertujuan untuk merumuskan strategi pembangunan berkelanjutan (PB) yang mampu merespon tantangan-tantangan ekonomi saat ini—transformasi pertumbuhan ke pertumbuhan yang berkelanjutan (green growth), penciptaan lapangan kerja dalam ekonomi hijau (green jobs) dan ekonomi inklusif/keadilan ekonomi.

Bukti-bukti substansial dan pemodelan investasi hijau menunjukkan kemampuan EH untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja (UNEP, 2011).  EH juga telah ditunjukkan sebagai langkah bisnis strategis. Beberapa perusahaan besar di dunia telah melampaui ketaatan pada peraturan (compliance), khususnya terkait lingkungan hidup—mengintegrasikan EH sebagai langkah bisnis strategis yang termasuk, proses produksi bersih, penegakkan HAM dan ketaatan pada regulasi/etika lingkungan pada rantai pasokannya (supply chain) (misalnya, merek dagang Puma).

Dalam kebijakan peralihan dari brown economy ke green economy pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi sektor-sektor strategis yang dapat secara simultan menyumbang pada peningkatan kinerja pengelolaan lingkungan dan ekonomi nasionalkehutanan, energi, industri manufaktur, pertanian dan pangan. Pertambangan mineral (besi, karst, emas, dll) tidak termasuk dalam daftar sektor strategis EH, tapi merupakan sektor ekonomi penting dan dengan dampak lingkungan dan sosial signifikan.

Di negara-negara berkembang dimana pertanian skala kecil merupakan sektor signifikan, EH dapat diintegrasikan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberantas kemiskinan. EH di India menginvestasikan modal besar di sektor tersebut. Namun di Indonesia, menurut peneliti, Mochammad Faisal Karim, penerapan EH belum memprioritaskan sektor pertanian yang menyumbangkan lebih dari 60 persen penduduk miskin; bahkan terjadi pengurangan lahan pertanian sebesar 60.000 hektar per tahun.

Kinerja sektor pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberantas kemiskinan harus didukung oleh kebijakan yang berpihak. Pertama, rencana tata ruang yang inklusif (berpihak pada masyarakat miskin dan ketahanan pangan) untuk pengembangan pertanian skala kecil; kedua, peningkatan produktivitas pertanian dengan ilmu pertanian berkelanjutan, termasuk rehabilitasi lahan kritis dan; ketiga, peningkatan nilai rantai pasokan produk pertanian.  

Sektor pertanian di perdesaan juga mempunyai potensi ekonomi dalam pengelolaan jasa ekosistem (misalnya, penyediaan pasokan air, penjagaan keanekaragaman hayati, stok karbon, dll), misalnya  seperti di Tiongkok.

Pada sektor manufaktur, kinerja ekonomi dan lingkungan dapat dipicu dengan langkah-langkah untuk memisahkan (decoupling) pertumbuhan ekonomi dengan “pasangannya”, dampak lingkungan. Langkah-langkah tersebut adalah, peningkatan daur ulang dan perolehan ulang (recovery) material, pengadopsian proses manufaktur siklus tertutup dan; perpanjangan umur produk manufaktur.

Efisiensi penggunaan, diversifikasi dan pemerataan akses merupakan aspek-aspek pengelolaan energi dalam EH. Efisiensi terutama harus ditujukan pada sektor pengguna yang signifikan—industri manufaktur dan transportasi. Audit energi perlu dilakukan, khususnya pada dua sektor tersebut, untuk mengidentifikasi komponen-komponen penggunaan yang dapat diintervensi untuk efisiensi dengan tujuan pengurangan intensitas energi pada luaran (output) ekonomi. Bangunan efisien energi juga dapat berkontribusi signifikan pada efisiensi energi keseluruhan.

Investasi adekuat harus dilakukan pada diversifikasi energi untuk merealisasikan potensi besar energi terbarukan di Indonesia. Saat ini, selain geothermal, data teknis dan keekonomian potensi besar energi terbarukan (tenaga angin, surya, hidro dan biomassa) di berbagai wilayah belum banyak tersedia (Indriyanto, 2010). Realisasi potensi sumber-sumber energi tersebut dapat meningkatkan keekonomian/keterjangkauan energi—yang kemudian dapat meningkatkan pemerataannya (misalnya peralihan sumber energi di wilayah terpencil dari BBM yang mahal ke tenaga surya).

Kehutanan dan pertambangan merupakan dua sektor penting karena persinggungan spasialnya dengan ruang-ruang yang telah dikelola masyarakat. Ekstraksi SDA pada dua sektor tersebut dilakukan pada bentang lahan luas menyebabkan: kerusakan dan kehilangan unsur-unsur biofisik lingkungan dan fungsi ekosistem yang seringkali bersifat permanen (irreversible) dan; penggusuran permukiman, sawah, dll. Pertambangan juga menyebabkan dampak lingkungan serius, terutama polusi senyawa-senyawa kimia berbahaya.

Transformasi menuju EH pada sektor kehutanan dan yang terkait telah dimulai dengan rangkaian kegiatan: kehutanan berkelanjutan; eko-turisme; kelapa sawit berkelanjutan dan; pengurangan emisi dengan konservasi hutan. Sektor kehutanan juga harus lebih strategis dalam perumusan peta jalan PB/EH untuk produk hutan—dengan prinsip-prinsip berkelanjutan berdasarkan implementasi standar pengelolaan yang transparan dan dapat diverifikasi.

Operasi pertambangan moderen merepresentasikan peningkatan signifikan dibandingkan praktek-praktek terdahulu. Namun operasi modern yang terbaik sekalipun masih mempunyai dampak lingkungan (International Institute for Environment and Development).  

Eksplorasi dan pertambangan mineral dan kehutanan memunculkan tantangan-tantangan antara akses dan pengelolaan lahan. Perencanaan tata ruang dan wilayah yang paling tepat adalah dengan merumuskan kerangka tata ruang dan wilayah yang menyeimbangkan kepentingan-kepentingan di tingkat nasional dan lokal yang bersinggungan (International Institute for Environment and Development). Misalnya diantara pertambangan, pertanian dan pelestarian lingkungan.

Saat ini kebijakan EH masih bersifat dukungan politis, baru dalam skema peta jalan dan belum diturunkan menjadi rencana eksekusi yang terintegrasi pada kementerian sektoral. Lebih jauh lagi, salah satu motor pembangunan pemerintah saat ini, dan yang akan melintasi beberapa rezim pemerintah ke depan adalah Rencana Induk untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 2025, yang terfokus pada tolak ukur Produk Domestik Bruto (PDB).

Paradigma PB/EH menggaris bawahi kelemahan PDB yang menghitung biaya-biaya terkait dengan polusi, deplesi sumber daya alam dan hilangnya jasa lingkungan sebagai pendapatanyang kemudian menjadi tolak ukur kesejahteraan. Pembangunan dengan pendekatan business as usual seperti MP3EI akan membebankan resiko investasi pembangunan yang mencerminkan ketimpangan sosial-ekonomi. Data-data yang dihimpun oleh UNEP menunjukkan bahwa kelompok miskin merupakan bagian dari populasi yang paling rentan mengalami penurunan kualitas hidup dan kematian akibat kerusakan lingkungan.

Proses perencanaan dan implementasi yang berpihak mensyaratkan adanya transparansi dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan kuat (good and strong governance). Transparansi dapat ditingkatkan dan seleksi opsi-opsi proyek dapat dilakukan dengan lebih baik, dengan proyeksi manfaat netto (yang memperhitungkan biaya lingkungan dan sosial). Studi tersebut penting untuk dilakukan, khususnya untuk perencanaan program dengan skala geografis yang luas dan yang berdurasi panjang (MP3EI)yang akan mempengaruhi fundamental-fundamental ekonomi dan sosial.

Pada masa peralihan, strategi kreatif dan penguatan implementasi instrumen legal yang relevan dibutuhkan untuk mendorong compliance dan konsistensi penerapan sanksi (terutama di sektor lingkungan, pertanahan dan HAM). Instrumen finansial yang mendukung EH yang telah digunakan pemerintah saat ini adalah reformasi harga energi fosil (BBM) dan insenstif/stimulus fiskal untuk energi terbarukan. Perluasan insentif/stimulus perlu dilakukan untuk mendorong pengadopsian teknologi energi dan manufaktur yang bersih dan efisien dan produk dan jasa berbasis EH. Berbagai skema kemitraan teknis dan investasi/finansial yang ada saat ini (misalnya Clean Technology Fund oleh Asian Development Bank) dan yang akan terus digulirkan, dapat mengakselerasi pengembangan dan pengadopsian teknologi dan proses produksi bersih.